Search This Blog

Tuesday, August 4, 2020

Asal Mula Pamor

Tidak ada data tertulis yang pasti mengenai kapan orang Nusantara menemukan teknik tempa senjata berpamor. Namun jika dilihat bahwa sebagian bilah keris Jalak Buda sudah menampilkan gambaran pamor, bisa diperkirakan pamor dikenal bangsa Indonesia setidaknya pada abad ke-7. Pamor yang mereka kenal itu terjadi karena ketidaksengajaan, dengan mencampur beberapa macam bahan besi dari daerah galian yang berbeda. Perbedaan komposisi unsur logam pada senyawa besi yang mereka pakai sebagai bahan baku pembuatan keris itulah yang menimbulkan nuansa warna yang berbeda pada permukaan bilahnya, sehingga menampilkan gambaran pamor.

Keris dan tombak tangguh Jenggala sudah menampilkan rekayasa pamor yang amat indah dan mengagumkan. Jelas pamor itu bukan berasal dari ketidaksengajaan, melainkan karena teknik tempa dan rekayasa si empu. Inilah yang menimbulkan tanda tanya, apakah Jenggala dalam perkerisan sama dengan Jenggala dalam ilmu sejarah? Mengapa budaya masyarakat di kerajaan yang berdiri pada abad ke-11 itu sudah terampil membuat rekayasa seni pamor?

Bahan Pamor
Selain menunjuk pada pengertian tentang pola gambarannya, pamor juga dimaksudkan menunjuk pengertian mengenai bahan pembuat pamor itu.

Ada empat macam bahan pamor yang acapkali digunakan dalam pembuatan keris, dan tosan aji lainnya. Dari yang empat itu, tiga di antaranya adalah bahan alami, sedangkan bahan pamor yang keempat adalah unsur logam nikel yang telah dimurnikan oleh pabrik.

Bahan pamor yang tertua adalah bahan keris dari dua atau beberaoa senyawa besi yang berbeda. Senyawa besi yang berbeda komposisi unsur-unsurnya itu, tentunya didapat dari daerah yang berbeda pula. Dari bahan pamor ini, pamor yang terjadi dinamakan pamor sanak.

Bahan pamor lainnya adalah batu bintang atau batu meteor. Penggunaan bahan meteorit untuk bahan pamor bukan hanya dilakukan oleh para empu di Pulau Jawa, juga di daerah lain di Indonesia. Badik batu dan mandau batu, misalnya, dibuat oleh orang Sulawesi dan Kalimantan.

Di Sulawesi selain batu bintang atau batu meteor, ada bahan pamor lain yang banyak terdapat di daerah Luwu. Bahan pamor dari Luwu ini kemudian menjadi komoditi dagang antarpulau, bahkan juga dikenal dan diperdagangkan di Singapura, Semenanjung Malaya, dan Thailand. Mereka mengenalnya sebagai pamor Luwu atau bassi pamoro.

Jenis bahan pamor yang terakhir adalah nikel. Dulu, beberapa puluh tahun yang lalu, nikel lebih sering dijumpai sudah bercampur dengan unsur logam lainnya, biasanya dengan besi. Tetapi kini, tahun 2000, mudah didapat nikel murni yang dijual kiloan.

Kanjeng Kyai Pamor
Dari empat macam bahan pamor itu, batu meteorlah yang terbaik, karena bahan itu mengandung titanium yang banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan pamor lainnya. Bahan baku pamor meteorit yang terkenal adalah yang berasal dari daerah Prambanan, Jawa Tengah, yang kemudian dinamakan Kanjeng Kyai Pamor dan disimpan di halaman Keraton Kasunanan Surakarta.

Jenis-jenis Pamor Keris

Ditinjau dari teknik pembuatannya, dikenal adanya dua macam pamor, yakni pamor mlumah dan pamor miring. Dibandingkan dengan pamor miring, pamor mlumah relatif lebih mudah pembuatannya, dan resiko gagalnya lebih kecil. Itulah sebabnya rata-rata nilai mas kawin (harga) keris berpamor mlumah lebih rendah dibandingkan keris yang berpamor miring.

Ditinjau dari bagaimana terjadinya pamor itu, macam-macam motif pamor dibagi dalam dua golongan besar, yakni pamor tiban atau pamor jwalana, dan pamor rekan atau pamor Pamor Pulo Tirto, termasuk pamor rekananukarta. Yang digolongkan pamor tiban adalah jenis motif atau pola gambaran pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan dahulu oleh si empu. Gambaran pola pamor yang terjadi bukan karena diatur atau direkayasa oleh Sang Empu, dianggap sebagai anugerah Tuhan. Pola pamor golongan ini di antaranya, Wos Wutah, Ngulit Semangka, Sumsum Buron, Mrutusewu, dan Tunggak Semi.

Sedangkan yang digolongkan pamor rekan, adalah pamor yang pola gambarannya dirancang atau direkayasa lebih dahulu oleh Sang Empu. Termasuk jenis ini di antaranya, pamor Adeg, Lar Gangsir, Ron Genduru, Tambal, Blarak Ngirid, Ri Wader, dan Naga Rangsang. Pamor Mayang Mekar termasuk pamor rekan

Penamaan dan Simpangsiurnya Nama Pamor
Karena ragam pola gambaran pamor jumlahnya banyak sekali, untuk membedakan pola satu dengan lainnya, tiap motif pamor itu diberi nama. Ada dua cara pemberian nama pamor dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa.

Pertama, dengan melihat hasil akhir penampilan pamor yang tampak. Jadi, jika gambar pamor itu mirip dengan kulit semangka, pamor itu disebut Ngulit Semangka, walaupun mungkin Sang Empu bukan berniat membuat pamor Ngulit Semangka, tetapi Wos Wutah.

Kedua, dengan memperkirakan niat Sang Empu. Misalnya, jika si empu diperkirakan berniat akan membuat pamor Ri Wader, ternyata jadinya mirip dengan gambaran pamor Mayang Mekar, maka pamor itu tetap dinamakan pamor Ri Wader, tetapi gagal. Karena kegagalan itu, nama pamor itu ditambah dengan kata 'wurung' sehingga menjadi Ri Wader Wurung.

Tetapi penamaan cara yang kedua ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami teknik pembuatan pamor. Orang kebanyakan, yang bukan pakar - jelas akan memakai cara penamaan pamor yang pertama.

Yang juga membingungkan, adanya perpedaan penyebutan nama pamor. Contohnya, pamor Lawe Setukel, ada yang menyebut Benang Satukel atau Lawe Saukel, atau Benang Saukel. Ada lagi, Blarak Sinered, Blarak Ginered, atau Blarak Ngirid. Ada lagi, Melati Rinonce atau Melati Rinenteng atau Melati Sato-or. Dan, masih banyak lagi kesimpangsiuran semacam itu.

Yang lebih parah dari itu, misalnya: Pamor Sada Saler atau Adeg Siji. Namanya beda, tapi pola pamornya yang itu-itu juga. Perbedaan nama ini makin jauh lagi, karena nama Sada Saeler disalahucapkan menjadi Sada Jaler, dan kemudian menjadi Sada Lanang. Dan yang agak menggelikan nama Sada Saeler ditulis oleh orang Belanda dengan ejaan Sadasakler, kemudian nama itu diterjemahkan menjadi sadasa kleur yang artinya 'sepuluh warna'. Ini karena kata kleur yang berasal dari bahasa Belanda memang berarti warna.

Istilah-istilah Mengenai Pamor
Dalam buku-buku lama mengenai keris sering dijumpai berbagai istilah untuk menggambarkan keadaan dan penampilan pamor. Bahasa Jawanya: Wujud semuning pamor.

Istilah-istilah itu pada umumnya kurang begitu dikenal orang yang hidup pada masa kini. Di antaranya adalah:

1. Pamor yang mrambut, merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan rabaan (grayangan - Jw.) - yakni pamor yang jika diraba dengan ujung jari rasanya seperti meraba rambut, Munculnya pamor semacam itu pada permukaan bilah keris bagaikan susunan helaian rambut, atau seperti serat-serat yang halus dan lembut.

2. Pamor yang ngawat, juga berkaitan dengan kesan rabaan seperti di atas, tetapi rasa rabaannya tidak sehalus pramor yang mrambut, - melainkan seolah-olah seperi rabaan jajaran kawat yang lembut.

3. Pamor yang nggajih merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan, yakni pamor yang tampak seperti lemak beku menempel di permukaan bilah keris. Keris atau tosan aji yang pamornya nggajih biasanya adalah keris yang bermutu rendah atau yang sering disebut keris rucahan. Keris semacam itu jika dijentik (dithinthing - Jw.) biasanya tidak berdenting.

4. Pamor mbugisan adalah istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan dan rabaan. Permukaan bilah keris yang pamornya tergolong mbugisan rabaannya halus, sedangkan gradasi berbedaan warna antara besinya yang hitam dan pamornya yang putih keperakan tidak nyata terlihat, tidak kontras.

5. Pamor yang nyanak adalah istilah untuk pamor Sanak atau pamor peson, merupakan istilah penilaian pamor menurut kesan penglihatan dan rabaan. Alur-alur pola gambaran pamor ini tidak jelas, tak kontras, tetapi rabaannya sangat terasa, agak kasar. Keris berpamor sanak biasanya dibuat dari bahan pamor yang berupa mineral besi yang didapat dari daerah lain. Jika dijentik, keris dengan pamor sanak tidak berdenting nyaring.

6. Pamor yang kelem, yang yang penampillannya cukup jelas, cukup kontras, tetapi sedemikian rupa sehingga seolah yang terlihat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan pamor. Seolah sebagian terbesar dari pamor itu 'tengelam' di dalam badan bilah. Pamor yang kelem itu jika diraba akan terasa lumer atau halus dan lembut.

7. Pamor yang kemambang adalah kebalikan dari pamor yang kelem. Pamor ini memberi kesan seolah bagian pamor yang tertanam di badan bilah hanya sedikit saja. Jika diraba, pamor kemambang juga memberikan kesan lumer dan halus.

8. Pamor yang ngintip adalah istilah penamaan pamor yang sangat kasar perabaannya, malahan kadang-kadang di beberapa bagian terasa tajam. Pamor yang ngintip ini bisa terjadi karena dua sebab.  Pertama si empu boros atau dermawan (loma- Jw.) terhadap bahan pamor yang digunakannya, sehingga jumlah bahan pamor yang digunakan berlebihan. Bisa juga terjadi karena ketidaksengajaan, yakni untuk memberikan kesan wingit pada keris itu.

Sebab yang kedua adalah si empu menggunakan bahan pamor bermutu tinggi, tetapi besi yang digunakan mutunya kurang baik, sehingga besi itu cepat aus. Sewaktu besinya sudah aus, sedangkan pamor tidak, maka pamor itu akan 'muncul' di permukaan bilah secara berlebihan.

9. Pamor yang mubyar yakni pamor yang tampak cerah, cemerlang, dan kontras dengan warna besinya. Walaupun warnanya kontras, namun jika diraba akan terasa lumer, halus.

Selain istilah-istilah yang di atas, untuk menilai pamor orang juga mengamati kondisi tertanamnya pamor pada badan bilah keris atau tosan aji lainnya. Menurut istilah Jawa, kondisi itu disebut tancebing atau tumancebing pamor.

Tancebing atau kondisi tertancapnya pamor pada badan bilah ada dua macam, yakni pandes (pandhes), yang tertanamnya pamor seolah dalam dan kokoh; dan kumambang, yaitu yang seolah-olah mengambang atau mengapung di permukaan bilah.

Tuah  Pamor dan Perlambang

Banyak penggemar keris yang mengkaitkan nama dan motif pamor dengan tuah keris atau tombaknya. Untuk mengetahui sebuah keris atau tombak itu baik atau tidak tuahnya, orang lebih dahulu akan mengamati jenis motif pamornya. Begitu pula jika orang ingin tahu apa tuah atau manfaat keris itu, yang pertama kali dilihat adalah pamornya. Itulah sebabnya, mengapa di kalangan penggemar keris timbul istilah ‘membaca pamor’. Mereka menganggap bahwa tuah keris dapat dibaca dari pamornya.

Anggapan itu tidak bisa disalahkan. Soalnya, seandainya pamor itu termasuk jenis pamor tiban, gambaran yang muncul dianggap sebagai pratanda dari Tuhan mengenai isi dan tuah keris itu. Jadi, motif atau pola yang tergambar pada pamor itu dianggap sebagai petunjuk untuk memperkirakan baik buruknya keris itu, sekaligus juga memperkirakan tuah apa yang terkandung di dalamnya.

Kalau motif pamor itu tergolong pamor rekan, maka pamor itu akan direka oleh Sang Empu sedemikian rupa sehingga bentuk gambarannya sesuai dengan niat empu, yang dirupakan dalam doa adan mantera yang diucapkannya. Misalnya, jika Sang Empu menginginkan keris buatannya mempermudah si pemilik untuk mencari rezeki, ia akan membuat pamor Udan Pamor Udan Mas Mas, Pancuran Mas, Tumpuk, atau Mrutu Sewu. Tetapi jika si empu ingin agar keris buatannya bisa menambah kewibawaan pemiliknya, empu itu akan membuat keris dengan pamor Naga Rangsang, Ri Wader, Raja Abala Raja, dan yang sejenis dengan itu.

Gambaran motif pamor adalah perlambang harapan. Harapan Sang Empu, sekaligus juga harapan si pemilik keris.

Kira-kira sama halnya dengan gambaran rajah penolak bala. Atau mungkin serupa pula dengan gambaran Patkwa yang oleh masyarakat keturunan Cina dipercayai memiliki tuah sebagai penolak bala. Mungkin mirip juga dengan kepercayaan sebagian orang Eropa yang menganggap bentuk ornamen ladam kuda (sepatu kuda) sebagai bentuk yang dianggap bisa mengusir setan dan roh jahat.
Dalam budaya Jawa - mungkin juga dibilang budaya Indonesia, bentuk-bentuk tertentu membawa perlambang maksud dan harapan tertentu pula.

Bentuk bulatan, lingkaran, garis lengkung, atau gambaran yang memberikan kesan lumer, kental, tidak kaku, melambangkan kadonyan atau kemakmuran duniawi, kekayaan, rejeki, keberuntungan, pangkat, dan yang semacam dengan itu.

Bentuk gambaran garis yang menyudut, segi, patahan, seperti segi tiga, segi empat, dan yang serupa dengan itu, dianggap sebagai lambang harapan akan ketahanan atau daya tangkal terhadap godaan, gangguan, serangan, baik secara fisik maupun nonfisik. Jika gambaran itu dirupakan dalam bentuk pamor, itu melambangkan harapan akan kesaktian dan kadigdayan.

Bentuk garis lurus yang membujur atau melintang, atau diagonal, dipercaya sebagai lambang harapan akan kemampuan untuk mengatasi atau menangkal segala sesuatu yang tidak diharapkan. Pamor yang serupa itu dianggap dapat diharapkan kegunaannya untuk menolak bala, menangkal guna-guna dan gangguan makhluk halus, menghindarkan bahaya angin ribut dan badai, terhindar dari gangguan binatang buas dan binatang berbisa. Misalnya, pamor Adeg.

Karena itulah, seorang empu sebenarnya juga bisa dibilang seniman yang memahami bahasa perlambang, dan menggunakan     gambaran           pamor sebagai media komunikasi.


PAMOR KERIS PEMILIH

Sering kita mendengar cerita dimasyarakat tentang orang yang tidak cocok pada keris pusakanya, baik keris dari warisan, pemberian orang, mas kawin atau yang mendapatkan dengan cara-cara lainnya. Ada banyak sekali jenis dari keris yang berpamor pemilih dan berpamor yang kurang baik, hal ini dikarenakan oleh berbagai macam faktor diantaranya :

1. Saat Empu membabar / membuat pusaka konsentrasinya terganggu oleh sesuatu hal sehingga mantra yang seharusnya baik menjadi salah ucap atau tidak sesuai maka mengakibatkan keris tersebut mempunyai tuah yang kurang baik Contohnya : Pusaka Empu Gandring, sebelum keris selesai dibuat sang Empu dibunuh oleh Ken Arok dan mengucapkan kata – kata kutukan yang masuk ke keris tersebut, dan terbukti keris tersebut mempunyai tuah seperti maksud dari kutukan empu Gandring.

2. Pamor Adalah sebuah bentuk ilustrasi atau gambar yang muncul dipermukaan bilah keris, nama-nama pamor sangat banyak dan beragam sesuai bentuk dan kemiripannya dengan alam, sebagai contoh ; Pamor Beras Wutah, Pamor Sasa Sakler, Pamor Blarak Ngirid, Pamor Udan Mas dan lain sebagainya. Terdapat beberapa jenis pamor yang memang mempunyai tuah yang kurang baik antara lain :

Pamor Satria Wirang : membawa kesengsaraan pemiliknya.
Pamor Sujen Nyawa : pusaka ini menginginkan pemiliknya untuk segera meninggal.
Pamor Dengkiling : mempunyai angsar cengkiliing / jahil pada pemiliknya.
Pamor Yoga Pati : angsarnya anak pemilik pusaka sering sakit sakitan.
Pamor Tundung : membuat pemiliknya sering pindah-pindah tempat / usaha.

3. Ada beberapa pusaka yang pemilih, maksudnya pusaka ini hanya cocok pada orang – orang tertentu saja sehingga kalau tidak cocok dengan seseorang yang memilikinya maka akan menjadikan pemiliknya tidak nyaman atau tidak tentram dalam berbagai kehidupan. Pusaka ini biasa tersirat pada pamor atau juga dapur pusakanya. Sebagai contoh sebuah keris dapur Kebo Lajer adalah keris untuk para petani dan peternak maka tidak akan cocok atau tidak sesuai jika dimiliki oleh seorang pejabat, Keris Dapur Sangkelat adalah keris untuk para petinggi tidak akan cocok untuk petani.

4. Pusaka yang sudah cacat atau tidak WUTUH juga mempunyai pengaruh kurang baik pada pemiliknya, seperti pegat waja, pugut / putus , Nyangkem kodok, Randa beser dan sudah terlalu aus sehingga sudah tidak terbentuk lagi sebagai pusaka. Hal ini dapat digambarkan seperti mobil jika remnya sudah tidak ada maka mobil tersebut akan sangat membahayakan bagi yang mengendarainya.

Muncul pertanyaan “Keris yang tidak cocok tersebut harus dikemanakan ? “, Bila keris tersebut cacat maka bisa dibetulkan oleh seorang empu dimasa sekarang masih ada empu yang dapat memperbaiki keris yang cacat atau rusak tepatnya di kota Solo atau Jogyakarta, tapi ada juga yang rela keris –keris tersebut dilarung ke sungai tapi ini adalah suatu tindakan yang keliru, karena keris tersebut adalah juga suatu karya yang adiluhung maka sebaiknya diserahkan ke Museum, kalau di Semarang dapat diserahkan ke Museum Rangga warsito yang siap untuk menerima pusaka – pusaka anda yang memiliki ciri-ciri yang kurang baik”. Jika sampai hilang dari nusantara maka untuk studi penelaahan keris akan menemui hambatan sebab banyak keris yang hilang karena dilarung. Walau keris itu Kurang Cocok alangkah baiknya jika diserahkan ke museum, biar negara yang menampung dan merawatnya agar budaya adiluhung kita tidak hilang. Maka jika ingin memiliki pusaka KERIS sebaiknya memperhatikan 3 hal yaitu TANGGUH, SEPUH dan WUTUH..

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, semua hasil karya manusia yang gagal atau salah dalam perhitungan, pengerjaan atau perencanaan akibatnya akan dapat membahayakan manusia, jadi tidak hanya keris. Jembatan, rumah, toko, gedung juga memiliki pengaruh yang tidak baik bagi yang menempati atau memiliki jika terdapat kegagalan dalam proses pembuatannya. intinya jika sesuatu hal itu dirancang dan dikerjakan dengan perencanaan yang matang, hati yang baik dan iklas maka hasilnya juga akan baik.

 beberapa contoh jenis besi menurut empu kuno:

  • Besi Karangkijang = Energinya dingin dan sabar
  • Besi pulosani =manfaatnya untuk kewibawaan, dapat kaya, dan keriernya baik.
  • Besi mangangkang (Wadon / betina) =manfaatnya kalau dibawa pergi mudah dapat rejeki.
  • Besi Walulin.=manfaatnya yang punya selalu sehat kuat, dalam bidang pertanian subur tanamannya, dihormati orang banyak, dan dapat berbuat tegas dalam menyelesaikan perkara.
  • Besi Katub.= manfaatnya cocok untuk pedagang, apa yang dikehendaki dapat tercapai, dan juga untuk keselamatan.
  • Besi Kamboja.=manfaatnya untuk kewibawaan, disegani orang banyak, kariernya baik. Tetapi tidak boleh berbuat jahat, kalau melanggar mendapat celaka.
  • Besi Ambal=manfaatnya dapat menarik keris lain.
  • Besi Winduaji=manfaatnya untuk keselamatan.
  • Besi Tumpang.=manfaatnya untuk kewibawaan dan daya pesona.
  • Besi Werani =manfaatnya untuk mencapai pangkat tinggi, kaya raya, dan Sukses dalam kepemerintahan.
  • Besi Walangi. =manfaatnya dapat lancar untuk mencari sandang pangan, juga untuk penghasihan, dan jangan untuk usaha simpan pinjam.
  • Besi Terate.=manfaatnya dicintai oleh wanita, dan keselamatan.

ada juga besi2 yang mempunyai manfaat berlawanan dengan besi diatas.

Seperti halnya jamu yang dibuat oleh seorang ahli jamu, yang berasal dari berbagai macam tanaman yang memiliki fungsi sendiri-sendiri kemudian disatukan untuk sebuah pengobatan suatu penyakit. Keris juga demikian diramu dari berbagai jenis besi yang memiliki fungsi-fungsi tersendiri kemudian disatukan untuk sebuah tujuan bagi pemesannya.

Kalau jamu yang kita minum dapat memberikan efek kepada hidup dan kesehatan kita, keris juga demikian …. Namun perlu waspada dan jangan keliru dengan keris yang tidak diramu dari besi-besi pilihan.

Rencong Aceh

Senjata Rencong digunakan oleh pejuang Aceh dalam mempertahankan diri dan melawan penjajahan bangsa asing dahulu kala, tidak hanya pejuang yang menggunakan rencong namun juga raja-raja serta golongan bangsawan di Aceh memakai rencong sebagai senjata pertahanan terakhir.

Peletakan Rencong ini tidak seperti kebanyakan peletakan senjata tajam lainnya yang tersembunyi dan terkesan di sembunyikan, akan tetapi Rencong Aceh diselipkan di sisi depan pinggang yang akan mudah di lihat oleh siapapun yang bermakna kesetiaan, siap siaga bertempur dalam keadaan apapun tanpa pengkhianatan.
Saat ini rencong umum digunakan oleh bangsawan-bangsawan Aceh atau kepala daerah di Aceh yang digunakan sebagai lambang adat atau kebiasaan yang telah menjadi khazanah budaya Aceh dan digunakan pada acara-acara besar seperti, perkawinan, dan acara lainnya serta menjadi cindera mata .

Ukuran rencong tidak begitu besar seperti senjata tajam lainnya, akan tetapi Rencong Aceh memiliki sejarah yang melegenda hingga hari ini, secara historis asal usul Rencong yang menjadi senjata mematikan Aceh ini menceritakan bahwa dimasa kerajan Aceh dahulu ada burung (Gereudha dalam bahasa Aceh) sejenis Rajawali ukuran Besar yang mungkin hari ini telah punah, dan telah banyak melakukan keresahan bagi masyaakat setempat baik merusak teror terhadap kehidupan anak anak, serta mengkonsumsi seluruh tanaman warga, baik buah-buahan serta ternak juga mati karena Ulah Sang Gereudha itu. Banyak cara telah di tempuh beragam perangkapun sudah dipakai untuk menangkap burung itu, tetapi tak juga berhasil dan malah semakin menjadi-jadi melakukan tindakan yang mencemaskan tersebut.

Sehingga Raja mengambil kebijakan dengan mengumpulkan seluruh Ahli persenjataan untuk menciptakan senjata yang bisa membunuh Geureudha dimaksud. Maka oleh seorang Pandai Besi yang memiliki kelebihan ilmu maghrifat (Maghrifat Besi) melakukan Shalat Sunnat dan Puasa serta berdo’a minta petunjuk pada Allah untuk diberikan petunjuk senjata yang senantiasa dapat membunuh burung Gereudha itu.

Dan pada akhirnya Pande Besi mendapat petunjuk untuk membuat sebilah rencong dengan Besi pilihan dan struktur senjata di tempa mirip tulisan bismillah dalam aksara Arab dan juga pembuatannya penuh ketelitian serta penuh pengharapan pada Allah. Maka atas dasar itu lah rencong cuma bisa dipakai dalam jihad fisabilillah dan mempertahankan diri dari serangan kezaliman.

Sejarah mencatat seorang pejuang Aceh bisa berperang dan menewaskan segerombolan serdadu, baik itu Portugis, Belanda maupun Jepang yang bersenjata lengkap hanya dengan sebilah rencong, Laksamana Keumalahayati sebagai contoh yang hanya dengan sebilah rencong Membunuh Cornelis De Houtman di Atas geladak kapalnya.
Rencong memang kecil jika di lihat dengan kasat mata, akan tetapi Rencong Aceh yang sesungguhnya memiliki tuah yang sejati sehingga siapapun yang pernah menjajah Aceh sangatlah terpukul dan menanggung malu dikalahkan dengan senjata tradisional yang panjangnya tidak lebih dari 50 Cm.

Sejarah juga mengungkapkan ada banyak diantara serdadu Penjajah yang tidak sanggup memikikan peristiwa aneh yang di hadapi di Aceh. Bagaimana tidak, bedil bosa dikalahkan sama Rencong! Inilah keanehan Rencong Aceh Jaman dulu, yang menyebabkan timbul idiom bahwa pejuang Aceh sebagai orang yang telah hilang ingatan atau Aceh Pungo.
Rencong Aceh juga sebagai salah satu senjata paling mematikan yang pernah ada di jagad ini, menurut Pandai Besi Maghrifat yang kini sudah senja, jika tergores dengan Rencong Aceh yang asli itu sedikit saja maka nyawa taruhannya. Bukti keganasan rencong masih terpampang rapi di depan mata anak cucu yaitu ribuan kuburan Belanda di Aceh masih tersisa.

Rencong mempunyai tingkatan. Pertama, rencong yang dipakai oleh raja atau sultan. Rencong ini umumnya terbuat dari gading serta emas murni. Dan rencong biasa yang sarungnya umum terbuat dari tanduk kerbau atau kayu pilihan, sedang belatinya dari kuningan atau besi putih dengan bilah yang runcing dan tajam.

Saturday, August 1, 2020

Candi Muaro Jambi

Situs purbakala yang berada di di Kabupaten Muarojambi adalah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara. Kompleks situs candi kuno Muarojambi ini juga dikenal sebagai tempat pengajaran agama Buddha yang sudah ada sekitar seribu tahun lalu
Candi yang terletak di Danau Lamo, Maro Sebo, dan dekat dengan Sungai Batang Hari ini memiliki 82 reruntuhan bangunan kuno (menapo).
Tidak hanya luasnya yang diperkirakan berukuran delapan kali Borobudur, komplek Candi Muarojambi disebut juga sebagai situs kota kuno di Sumatera.
Penemuan dan pemugaran
Candi ini memiliki luas sekitar 12 km persegi dengan panjang lebih dari 7 km serta luas nya mencapai 260 hektar.  Kompleks Percandian Muaro Jambi secara total berisi 61 bangunan candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum digali (diokopasi).
Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-7-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar, dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. 
Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, China, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "wajra" pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Candi Muarojambi adalah sebuah kompleks percandian Hindu-Buddha.
Pada bagian-bagian bangunan candi dapat menunjukkan bahwa pada zaman dulu Candi Muarojambi ini pernah dijadikan sebagai salah satu pusat tempat peribadatan agama Budha Tantri Mahayana di Indonesia.


Beberapa hasil temuan benda sejarah yang terdapat pada Candi Muarojambi, seperti hasil reruntuhan Stupa, Arca Gajah Singh, dan Arca Prajinaparamita, makin memperkuat bukti sejarah bahwa candi ini sudah lama dijadikan sebagai pusat kegiatan agama Budha.
Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan ditemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "wajra" pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Candi Muarojambi diperkirakan berasal dari abad ke-11 Masehi. Kompleks candi ini, kali pertama dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke, yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer.
Lalu, pada 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Perkiraan peninggalan di Candi Muarojambi berkisar dari abad ke-9-12 Masehi.
Di situs ini sudah sembilan bangunan telah dipugar, semuanya bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.

Beberapa arkeolog juga menyimpulkan, kompleks Candi Muarojambi dahulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Hal itu nampak dari ada manik-manik yang berasal dari Persia, China, dan India. 
Kompleks percandian Muarojambi secara total berisi 61 bangunan candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum digali (diokopasi).
Pada tahun 2012, Kompleks Candi MuaroJambi ditetapkan sebagai Kawasan Wisata Sejarah Terpadu (KWST).
Beberapa candi yang sudah dipugar dan bisa dikunjungi para pelancong antara lain Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gumpung, Candi Gedong 1 dan 2, Candi Astano, serta kolam Talaga Rajo. 

Candi Gempung adalah candi yang terlihat pertama kali saat wisatawan tiba di Kompleks percandian Muarojambi. Hamparan hijau di depan candi membuat Anda seperti berada di mini savana.
Wisatawan juga dapat melihat kanal-kanal tua dan tanggul alam kuno yang masih terlihat jelas mengelilingi Kompleks Percandian Muarojambi.

Friday, July 24, 2020

Keris Siginjei

Simpul sejarah Jambi memang masih banyak yang terputus, termasuk soal keris Siginjei. Informasi terkait keris Siginjei umumnya tersebar lewat cerita rakyat yang pada abad 18 mulai dituliskan dalam cerita dan hikayat negeri Jambi. Pada karya tulis ilmiah, seperti; tulisan Den Hamer berjudul Legende van de kris Si Gendje, buku Dr. Lindawati berjudul Sejarah Jambi Tahun 1500-1945, dan buku Barbara Watson berjudul Live as Brothers:Southeast Sumatera in Seventeenth and Eighteenth Centuries, umumnya berkutat pada persistiwa Orang Kayo Hitam anak Datuk Paduka Berhala yang tidak mau tunduk terhadap Kerajaan Mataram. Atas ketidak patuhan itu, Raja Mataram ingin membunuh Orang Kayo HItam dengan keris sakti yang ditempa dengan menggunakan sembilan logam dari Sembilan wilayah bertuah. Hebatnya, Orang Kayo Hitam mengetahui rencana tersebut dan merebut keris sakti Siginjei serta menikahi salah satu putri raja Mataram. Bersama simbol kesaktian dan legitimasi politik ini, Orang Kayo Hitam memproklamirkan kedaulatan kerajaan Melayu Jambi.
Keris Siginjei tersohor memiliki kekuatan supranatural dan daya sakral, namun dibalik semua itu terdapat nilai-nilai luhur philosofis, yang antaralain; keberanian, jiwa kesatria, semangat kemajuan dan pembaharuan, berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan, penegakan hak asasi manusia, kepercayaan diri, dan pantang menyerah. Apabila nilai-nilai ini ditekankan kepada masyarakat Jamabi, tentu akan membawa dampak yang luar biasa untuk kemajuan Jambi dimasa mendatang. Namun sayangnya, keris Siginjai ini kurang pengkajian, baik secara historis dan arkeologis. Padahal data arsip cukup untuk membuktian keberadaan keris siginjei, demikian juga dengan data arkeologisnya, jelas objeknya masih bisa diteliti di Museum Nasional Jakarta.

Adalah hal yang penting untuk melakukan pembuktian ilmiah kebenaran beberapa peristiwa terkait keris Sigineji, sehingga mengubah kesan `mitos` atau kecendrungan yang akan mengarahkan keris siginjei menjadi `mitos`. Salah satunya adalah dengan pendekatan arkeologi. Metode arkeologi melalui cara-cara kerjanya mampu mengungkap persitiwa pembuatan keris Siginjei yang dalam cerita terbuat dari sembilan unsur logam, dan diperoleh dari Sembilan tempat. Metode metalographi dan analisis ,akan menjawab jenis logam apa saja pemebntuk keris Siginjei, juga berikut asal-muasal logamnya. Terkait kurun waktu pembuatan keris Siginjei yang dalam cerita dikatakan pada era Mataram, dapat dikaji dengan meneliti umur keris melalui teknik uji atau carbon dating. Persoalan kurun waktu pembuatan bisa diperjelas lagi dengan analisis gaya pada bagian-bagian keris; hulu atau pegangan, dan wilah atau bilah keris, warangka atau sarung keris, sehingga dapat dipastikan apakah keris gaya Mataram, Majapahit, Singosari, Bali, dan Melayu.
Keris Siginjei yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta, nyata adanya, dan dapat dilihat keindahan `luk` dan `pamornya`. Bukan generasi muda tak sayang dan tak cinta akan sejarahnya, tapi hanya persoalan pengnalan yang belum tertunaikan. Kalau lah dimata generasi muda keris Siginjei lebih cendrung kepada mitos dari pada sejarahnya, itu karena tak banyak kajian ilmiahnya. Betul apa kata pepatah lama, tak kenal maka tak sayang, dan kita memang belum mengenal keris Siginjei secara baik dan mendalam.
Penelitian mendalam yang intens tentu harus segera dilakukan. Anggaplah ini sebagai permulaan atas bangkitnya pengakajian sejarah peradaban Jambi yang panjang. Menghidupkan sejarah, berarti menghidupkan jiwa raga segenap anak bangsa. Bersama tegaknya tugu keris Siginjei, kembali pula tuah dan nilai-nilai luhurnya ke tengah-tengah masyarakat Jambi. Jadilah kebanggaan, dan inspirasi Jambi untuk kembali merebut masa kejayaannya. Jaya dalam kebesaran dan keluhuran peradaban budanya, serta kuat mengakar dengan kesadaran sejarahnya. Takkan hilang melayu di bumi, seperti Keris Siginjei.

Thursday, July 23, 2020

Sriwijaya

Sejarah mengenai Kerajaan Sriwijaya memang menjadi legenda nusantara Indonesia. Kerajaan ini merupakan kerajaan maritim terbesar karena berhasil menguasai berbagai macam daerah yaitu pulau Kalimantan, pulau Jawa, dan pulau Sumatera. Tidak hanya daerah di kawasan Indonesia saja namun kekuasaan Kerajaan ini berhasil mencapai wilayah Asia yang lain yaitu Kamboja, Semenanjung Malaya, dan juga Thailand bagian selatan. Karena keberhasilannya tersebut Kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa dalam perdagangan di Asia Tenggara.

Balaputradewa satu-satunya raja Sriwijaya yang diingat banyak orang. Dia terkenal sampai India karena membangun asrama bagi pelajar Sriwijaya di Nalanda. Padahal, Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad 7. Namanya memudar pada abad 12.
Sementara Balaputradewa menjadi raja Sriwijaya pada abad 9. Lantas siapa saja yang menjadi raja Sriwijaya? Pertanyaan ini cukup merepotkan.
“Dalam kajian Sriwijaya yang menyulitkan kita adalah menyusun genealogi raja-rajanya, karena prasasti tak menyebut nama raja dengan terang,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, kepada Historia. 
Tak jelas juga siapa yang memulai imperium besar ini. Informasi awal muncul dalam Prasasti Kedukan Bukit bernama Dapunta Hyang. Namun, sesungguhnya yang disebut prasasti dari tahun 682 itu hanyalah gelar. 
Untungnya, Prasasti Talang Tuo memperjelasnya. Ditemukan di Palembang, prasasti dari tahun 684 ini menyebut tokoh Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Kedua tokoh itu dianggap orang yang sama karena prasasti itu dikeluarkan dalam jarak waktu berdekatan. 
“Kita baru tahu nama lengkapnya setelah ditemukan prasasti tentang taman, Prasasti Talang Tuo,” ujar Bambang.Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya berdasarkan isi Prasasti Talang Tuwo, Dapunta Hyang Sri Jayanaga dipuja dengan doa yang muluk setelah dia memerintahkan pembuatan taman Sriksetra. Taman yang ditanami beraneka buah-buahan itu diciptakan demi kehidupan semua makhluk. 
“Jadi logisnya Dapunta Hyang adalah gelar raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanaga,” catat Slamet Muljana. 
Siapa yang melanjutkan pemerintahannya? 
Menurut Bambang, informasinya terputus sampai muncul nama Balaputradewa. Ada petunjuk kecil dari Prasasti Ligor A dan kronik Tiongkok. Prasasti itu menyebut raja Sriwijaya menyerupai Indra yang membangun kuil di Ligor (kini, Nakhon Si Thammarat di Thailand selatan) pada 775. 
Hsin-t’ang-hsu, catatan sejarah yang disusun berdasarkan berita Ch’iu T’ang Shu atau sejarah lama, ketika Dinasti Sung berkuasa pada abad 11. Tercatat Kerajaan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673 dan 713-741. 
Pada 724, seorang utusan bernama Kiu-mo-lo (Kumara) datang ke Tiongkok. Kaisar memberi gelar jenderal padanya. Dia juga memberi gelar pada raja Sriwijaya bernama Che-li-to-le-pa-mo (Sri Indrawarman). 
“Jika masa pemerintahan itu kita hubungkan dengan Prasasti Ligor A, yaitu 775, maka selisih 51 tahun, mungkin Sri Indrawarman masih memerintah, mungkin juga sudah diganti putranya,” tulis Slamet. Bisa jadi raja yang dilukiskan serupa Dewa Indra oleh Prasasti Ligor A adalah Sri Indrawarman atau anaknya yang entah siapa namanya. 
Tak banyak lagi informasi mengenai pemegang takhta berikutnya. Permasalahan genealogi kian ruwet ketika sampai ke Balaputradewa dalam suksesi Sriwijaya. Dalam Prasasti Nalanda dari tahun 860, Balaputradewa mengaku keturunan Sailendra, sebuah wangsa di Jawa. Ini menjadi pertanyaan bagaimana seorang keturunan Jawa bisa berkuasa di Sumatra. 
Namun, setidaknya dia menjadi raja Sriwijaya lebih jelas. Prasasti itu menyebut namanya sebagai Maharaja di Suwarnadwipa, sebutan lama bagi Sumatra yang identik dengan Sriwijaya. 
Setelah Balaputradewa, ada dua nama yang disebut dalam kronik Tiongkok sebagai raja di San-Bo-Zhai (Sumatra). Namun, keduanya tak didukung data prasasti. Dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279), disebutkan pada 960, Si-ri-hu-da-xia-li-tan mengirimkan utusan ke Tiongkok. Rajanya bernama Si-ri-wu-ya. Dua puluh tahun kemudian, rajanya sudah berganti. Ha-chi atau Haji (Aji) tertulis sebagai raja yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 980. 
Informasi agak terang muncul soal dua raja selanjutnya. Selain dari catatan Sejarah Dinasti Song, kedua raja ini juga disebut dalam prasasti berbahasa Tamil, Prasasti Leiden dari tahun 1005. 
Kronik Tiongkok menyebut pada 1003, Raja Si-ri-zhu-la-wu-ni-fo-ma-diao-hua mengirimkan utusan ke Tiongkok. Utusan ini menyampaikan kepada kaisar kalau mereka mendirikan vihara Buddha bagi sang kaisar. Untuk itu mereka memohon agar penguasa Tiongkok bersedia memberikan nama dan genta. Pada 1008, penggantinya, Se-ri-ma-la-pi juga mengirim utusan ke Tiongkok. 

Kedua raja itu merupakan ayah dan anak. Dalam Prasasti Leiden disebutkan Sri Marawijayotunggawarman, putra Raja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Sementara sang ayah menghadiahkan sebuah biara bernama Cudamaniwarmanwihara. Hadiah ini, diberikan pada tahun pertama pemerintahan Raja Cola, Rajaraja I (1005/1006). 
Berikutnya, pada 1017 berita Tiongkok kembali menyebut Raja Ha-chi-su-wu-cha-pu-mi mengirimkan utusan yang membawa surat berhuruf emas dan beberapa hadiah kepada kaisar. Pada 1028, raja yang berbeda, Raja Si-li-die-hua atau mungkin dibaca Sri Deva, mengutus bawahannya ke Tiongkok. Dua tahun sebelum utusan ini datang, Sriwijaya diserang Kerajaan Cola dari India Selatan. Dalam Prasasti Tanjore (1030) disebutkan Raja Sangramawijayattungawarman ditawan. 
Dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, George Coedes memperkirakan raja yang ditawan itu segera diganti. Yang tercatat dalam kronik Tiongkok itu bisa jadi adalah raja yang menggantikan. 
Bambang menjelaskan, Sriwijaya masih tercatat mengirimkan bantuan ke Tiongkok dalam pembangunan kuil Tao di Kanton. Dalam Prasasti Kanton (1079) tercatat perbaikan kuil T’ien Ching dilakukan atas biaya raja San-fo-ts’i bernama Ti-hu-ka-lo. 

Nama itu mungkin yang terakhir dari berita-berita tentang penguasa Sriwijaya. Informasi penguasa di Suwarnadwipa baru muncul kembali saat di Jawa sudah berkuasa Krtanagara, raja Singhasari. Namun, agaknya kekuasaan di Sumatra sudah beralih dari Sriwijaya ke Kerajaan Melayu. Pusat kekuasaannya berubah ke Dharmmasraya di barat Sumatra. 
Lewat Prasasti Padang Roco (1286) yang ada di lapik arca Amoghapasa diketahui kalau Krtanagara menghadiahi rakyat Bhumi Malayu arca itu. Raja di Bhumi Malayu itu bernama Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. 

Gelar Srimat sebelumnya juga pernah muncul. Ia tercantum dalam Prasasti Grahi (1183) untuk raja bernama Srimat Trailokyaraja Mauplibhusanawarmadewa. Adapun prasasti ini berada di Chaiya, selatan Thailand yang sebelumnya pernah menjadi negeri bawahan Sriwijaya. 
Menurut Slamet Muljana, gelar Srimat dan nama Mauli hanya dikenal oleh raja-raja Melayu. Tak pernah sebelumnya digunakan oleh penguasa trah Sailendra, baik di Sumatra maupun di Jawa. 
“Dengan kata lain Kerajaan Sriwijaya pada 1183 sudah runtuh digantikan Kerajaan Malayu, dan wilayah Semenanjung tak lagi diperintah Sriwijaya, melainkan Kerajaan Melayu,” jelasnya.