Search This Blog

Wednesday, May 19, 2021

Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebuah kerajaan melayu yang bercorak Islam di Sumatera bagian selatan. Sejarah berdirinya tidak terlepas dari kemelut politik pada Kesultanan Demak. Perang perbutan tahta Jawa yang terjadi antara 1549 -1586 pada akhirnya dimenangkan oleh Mataram. Hal ini menyebabkan runtuhnya Kerajaan Islam yang didirikan pada 1479 oleh Raden Patah. Pada 1586, Palembang sebagai satu satunya wilayah yang masih setia, jadi tempat pelarian para bangsawan Kesultanan Demak. Terdapat 15 Keluarga para pembesar Demak dari berbagai kota di pesisir utara jawa yang mengungsi ke Palembang.


Sultan terakhir Demak, Aria Pangiri (1582-1586) yang terusir mangkat di Banten Pada 1588. Cikal bakal Kesultanan Palembang didirikan oleh Kiyai Gede ing Suro. Ia bertindak seolah-olah adalah ‘Pemerintahan Demak dalam pengasingan’. Setelah mangkat ia disebut dengan gelar Pangeran Madi ing Angsoko (1588-1623). Pusat pemerintahan didirikan pada 1588 di sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang.

Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Muhammad (1585-1596), menganggap Kesultanan Demak sudah runtuh berusaha menyerang Palembang. Namun ia meninggal dunia di Palembang sewaktu mencoba menundukkan kawasan tersebut. Dengan memanfaatkan kemunduran Banten pada 1619, VOC menduduki Jayakarta dan merebutnya dari Banten. Akibat berbagai tekanan dari VOC, Sultan Abdul Mufakkir (1596-1651) yang masih dalam perwalian mengizinkan VOC membuat benteng di Sunda Kelapa. Pada 1622, VOC memindahkan pusat kegiatannya dari sebelumnya di Fort Amsterdam, Ambon Kepulauan Maluku ke Jayakarta. Kota Benteng ini kemudian diberi nama Batavia. Posisi VOC di Batavia bagi Banten cukup strategis, sebagai penghalang antara Negerinya dengan Mataram yang agresif.

Pada 1636 atas diplomasi Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Palembang dibawah Pangeran Seda ing Kenayan (1630-1642) setuju menjadikan wilayahnya sebagai ‘vassal’ dari Mataram. Keduanya merasa sama sama penerus Kesultanan Demak dan Palembang membutuhkan sekutu sebagai sebagai pelindungnya dari ancaman dari Banten dan VOC. Pada perkembangan selanjutnya di dibawah Sunan Amangkurat I (1645-1677) , Mataram malah bermesraan dengan VOC, sebaliknya Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) justru bermusuhan dengan Batavia.

Antara 1647-1659 terjadi perselisihan antara Palembang dengan VOC terkait hak monopoli perdagangan lada di Sungai Musi. Palembang harus menghadapinya sendiri ketika Negerinya diserang beberapa kali. Mataram yang seharusnya menjadi pelindung Palembang tidak melakukan apapun, malah membenarkan apa yg dilakukan VOC. Pada 1659 Keraton Kuto Gawang menjadi lautan api dan rata dengan tanah oleh serangan VOC. Pangeran Sido Ing Rejek (1652-1659) meloloskan diri. Ia mangkat di dusun Indralaya Saka Tiga. Setelah diperoleh kesepakatan, pilihan jatuh pada Kimas Hindi atau Pangeran Candiwalang adik dari Pangeran Sedo Ing Rejek sebagai penguasa Negeri Palembang selanjutnya.

Sang Pangeran mengukuhkan dirinya sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Khalifatul Mukmin Sayidul Iman. Namanya pun diubah menjadi Abdurrahman, sebuah nama yang paling disukai Rasulullah SAW. Melalui perubahan gelar ini, Pangeran Kimas Hindi tercatat sebagai pendiri Kesultanan Palembang Darussalam. Setelahnya tradisi dalam penggunaan nama raja-raja Negeri Palembang berubah dari Pangeran menjadi Sultan, sejajar dengan Sultan Mataram di Pulau Jawa. Keraton Palembang yang baru didirikan di Kuto Cerancangan, menggantikan Kuto Gawang yang terbakar pada perang tahun 1659. Di area Keraton ini didirikan juga dalem Beringin janggut berikut masjid yang saat ini tinggalan nama sejarahnya disebut Masjid Lamo.

Kimas Hindi berusaha untuk tetap memelihara Hubungan baik dengan Kesultanan Mataram di Pulau Jawa Namun hubungan tersebut mulai memburuk ketika Kimas Hindi merasakan sikap Mataram yang mulai berubah. Puncak keretakan dari hubungan Palembang dan Mataram ini bermula pada saat utusan Palembang yang dikirim menghadap Mataram tidak diterima secara layak. Sikap resmi Mataram ini menurut para ahli sejarah ada hubungannya dengan peristiwa di masa Pangeran Sido Ing Rejek. Kala itu setelah mengantar sang pangeran terjadi insiden terbantainya pasukan Mataram oleh Belanda . Saat kejadian itu penguasa Palembang dianggap tidak membantu, bahkan dituduh berpihak pada Batavia (VOC). Pada 1668, penguasa Palembang kembali mengirim utusan ke Jawa dengan membawa seekor gajah, beserta seperangkat kain mahal dan barang persembahan lain. Utusan resmi ini pun tidak pula diterima raja Mataram. Kimas Hindi menyimpulkan bahwa Mataram tidak perlu dihormati lagi.

Memperhatikan sikap politik Mataram, Kimas Hindi memutuskan tidak melihat manfaat keuntungan timbal balik dengan Mataram. Ki Mas Hindi mengambil keputusan, bahwa hubungan Ideologis-kultural sudah waktunya dihentikan. Palembang merupakan suatu kerajaan yang mandiri, dengan identitas sendiri. Seluruh tata cara dan kebiasaan berubah, keris, pakaian Jawa menjadi pakaian Melayu. Aksara Jawa diganti menjadi Aksara melayu (Pegon). Bahasa keraton yang masih menggunakan bahasa Jawa, namun untuk rakyatnya sendiri sudah menggunakan bahasa Melayu Palembang.

Sejak masa itu Palembang tidak pernah lagi mengirim undangan berikut Hadiah-Hadiah ke Jawa. Di sisi lain, hubungan dengan VOC di Batavia secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan. Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan sultan Abdurrahman itu juga cukup diperhitungkan di antara negreri negeri Melayu. Negeri-negeri tetangga beberapa kali meminta bantuan Palembang dalam menghadapi peperangan di wilayahnya.

Pada 1669, Palembang mengirimkan armada nya untuk membantu Kesultanan Johor dalam perang Johor-Jambi. Sebagai imbalannya hak oenguasaan atas Kepulauan Bangka-Belitung diserahkan Kepada Kesultuanan Palembang. Terhadap Mataram, walau hubungan atasan-bawahan dianggap sudah selesai, Palembang masih mengirimkan 10 buah kapal untuk membantu Mataram menghadapi Trunojoyo yang memberontak di tahun 1677 Walau demikian, mengingat Kesultanan yang baru didirikan ini masih dalam masa penataan, tidak semua permohonan tersebut dapat dikabulkan.

Kota Jambi

Sejarah
Kota Jambi berdiri pada tanggal 28 Mei 1401 dan dibentuk sebagai pemerintah daerah otonom kotamadya berdasarkan ketetapan Gubernur Sumatra nomor 103/1946, tanggal 17 Mei 1946. Kemudian ditingkatkan menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang nomor 9 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah. Kemudian kota Jambi resmi menjadi ibukota provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan Undang-undang nomor 61 tahun 1958.

Kota Jambi (Melayu: كوتا جمبي) adalah sebuah kota di Indonesia sekaligus merupakan Ibu Kota Provinsi Jambi, Indonesia. Kota Jambi dibelah oleh sungai yang bernama Batanghari, kedua kawasan tersebut terhubung oleh jembatan yang bernama jembatan Aur Duri. Kota Jambi memiliki luas sekitar 205,38 km² dengan penduduknya berjumlah 604.378 jiwa .

Lambang Kota Jambi berbentuk perisai dengan bagian yang meruncing di bawah dikelilingi tiga garis dengan warna bagian luar putih, tengah berwarna hijau, dan bagian luar berwarna putih. Garis hijau yang mengelilingi lambang pada bagian atas lebih lebar dan di dalamnya tercantum tulisan “Kota Jambi” yang melambangkan nama daerah dan diapit oleh dua bintang bersudut lima berwarna putih. Itu melambangkan kondisi kehidupan sosial masyarakat Jambi yang terdiri atas berbagai suku dan agama, memiliki keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa

Semboyan kota jambi adalah Tanah Pilih Pesako Betuah secara filosofi mengandung pengertian bahwa Kota Jambi sebagai pusat pemerintahan kota sekaligus sebagai pusat sosial, ekonomi, kebudayaan, mencerminkan jiwa masyarakatnya sebagai duta kesatuan baik individu, keluarga, dan kelompok maupun secara institusional yang lebih luas ; berpegang teguh dan terikat pada nilai – nilai adat istiadat dan hukum adat serta peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Friday, September 4, 2020

Maharaja Sriwijaya

 1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa
adalah Maharaja Sriwijaya pertama yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Ia berkuasa sekitar perempat terakhir abad VII hingga awal abad VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi hingga 702 masehi.

2. Sri Maharaja Indra Warmadewa atau Sri Indrawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Shih-li-t-'o-pa-mo . Munculnya nama Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman berdasarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718. Dalam surat itu disebutkan dikirim dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka dan mengantarkan hadiah untuk khalifah pada waktu itu. Kemungkinan khalifah Umar bin Abdul-Aziz juga memberikan hadiah untuk utusan Sriwijaya. Kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-mo pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

3.Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.
Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan sebutan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa(raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan kata lain, Balaputradewa adalah cucu Dharanindra.

Sementara itu prasasti Ligor B yang memuat istilah Sarwwarimadawimathana menurut pendapat Sejarawan George Cœdès dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini dianggap lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.
Alasan Muljana adalah terdapat perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia kemudian memadukannya dengan berita dalam prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.

Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.

Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.

Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.

4.Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Kerajaan Medang dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792 – 835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Smaratungga lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
5.Balaputradewa adalah cucu seorang Raja yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samartungga, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala. Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah Raja Sriwijaya.
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.

6.Sri Maharaja Cudamani Warmadewa merupakan salah seorang Maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa.
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanyaDurbodhāloka menyebutkan bahwa karyanya tersebut dituliskan pada masa pemerintahan Sri Cudamanivarmadeva penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa, sekitar akhir abad ke-10.
Pada tahun 1003, Sri Cudamani Warmadewa mendedikasikan sebuah candi untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Kemudian namanya juga didedikasikan untuk sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma di selatan India, sebagaimana yang tersebut pada prasasti Leiden. Hal ini juga menunjukan adanya hubungan diplomasi antara Sriwijaya dengan dinasti Chola waktu itu.

7.Sri Maharaja Mara-Wijayottungga Warmadewa atau Sri Mara-Wijayottunggawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya,yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-ma-la-pi.
Dalam prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya, Sri Mara-Wijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma. Kemudian berdasarkan kronik Tiongkok diketahui rajaSan-fo-ts'i yang bernama Se-li-ma-la-pi mengirimkan utusan ke Tiongkok tahun 1008, dan raja ini dirujuk kepada Sri Mara-Vijayottunggawarman.
Sumber Tiongkok juga menceritakan tentang peperangan besar antara kerajaannya dan Kerajaan Medang di Jawa Timur.Pada 1016, Sriwijaya mungkin turut membantu pemberontakan sebuah negara bawahan, sehingga menyebabkan kematian Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dan kehancuran Kerajaan Medang.
8.SriMaharajaSangrama-VijayottunggaWarmadewa atau Sangrama-Vijayottunggawarman merupakan seorang Maharaja Sriwijaya, dan dianggap raja Sriwijaya yang berdaulat terakhir atas wilayahnya
Nama Sangrama-Vijayottunggawarman diketahui berdasarkan prasasti Tanjore berangka tahun 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, selatan India. Prasasti itu dikeluarkan pada masa Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola. Pada masa ini Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).

Mengenal Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebut Śrīivijaya Jawa: (bahasa Jawa: Sriwijaya); Thai: ศรีวิชัย; Siwichai) adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa Barat dan Jawa Tengah .Dalam bahasa Sanskerta, Sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan Wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.Setelah keruntuhannya, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Prancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient. 
 

Yijing atau I Ching, atau kadang dieja I Tsing (義淨; pinyin Yì Jìng) (635 - 713) adalah seorang biksu Buddha Tionghoa yang berkelana lewat laut ke India melalui Jalur Sutra untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta. Dia kemudian membawanya pulang ke Tiongkok dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa. Dia tinggal di Kuil Xi Ming selama beberapa waktu di Chang'an, ibu kota Dinasti Tang.
Semasa perjalanannya, dia pernah mengunjungi kerajaan Sriwijaya (Palembang) di Sumatra, Indonesia pada tahun 671 dan tulisannya mengenai kerajaan tersebut adalah salah satu dari sedikit sumber mengenai Sriwijaya.
Dalam buku kenangannya, ia menceritakan bahwa sang peziarah Hui Ning memutuskan perjalanannya selama tiga tahun di pulau Jawa (664/5 – 667/8) untuk menterjemahkan sebuah sutra, kemungkinan besar dari mazhab Hinayana, mengenai Nirwana yang agung. Penterjemahannya dibantu seorang pakar Jawa yang bernama Jñânabhadra. Sedangkan I Ching sendiri menghargai pusat-pusat studi agama Buddha di Sumatrasecara tinggi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa ia tinggal selama enam bulan di Sriwijaya (Palembang) dan dua bulan di Malayu (Jambi) dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 dan setelah itu selama sepuluh tahun di Sriwijaya (685-695).
Selain itu ia juga meringkaskan bahwa agama Buddha dipeluk di negeri-negeri yang dikunjunginya dan sebagian besar, mazhab Hinayanalah yang dianut, kecuali di Malayu di mana ada pula beberapa penganut Mahayana.
Yijing menerjemahkan sekitar 60 sutra (teks agama Buddha) ke dalam bahasa Tionghoa.
 
George Cœdès
(lahir di Paris, 10 Agustus 1886 – meninggal di Paris, 2 Oktober 1969 pada umur 83 tahun) adalah arkeolog dan sejarawan Prancis abad ke-20 yang mengkhususkan diri di wilayah Asia Tenggara. Cœdès lahir dari keluarga yang diduga emigran Yahudi-Hongaria. Kenyataannya, keluarganya sudah tinggal di Strasbourg sebelum tahun 1740. Leluhurnya bekerja di kas kerajaan. Kakeknya, Louis Eugène Cœdès, adalah pelukis, murid dari Léon Coignet. Ayahnya, Hyppolite, adalah bankir. Cœdès menjadi direktur Perpustakaan Nasional Thailand pada tahun 1918, dan pada tahun 1929 menjadi direktur École française d'Extrême-Orient (EFEO) dan tetap di sana sampai tahun 1946. Lalu ia tinggal di Paris sampai saat kematiannya pada tahun 1969.
Ia menghasilkan dua karya tulis dalam bidangnya, The Indianized States of Southeast Asia (1968, 1975) dan The Making of South East Asia (1966), juga banyak artikel, yang di dalamnya ia mengembangkan konsep kerajaan terindianisasi. Namun, kesepakatan masa kini beranggapan bahwa tidak terjadi indianisasi yang penuh sebagaimana yang dipercaya Cœdès karena banyak praktik keagamaan dan budaya setempat yang masih tetap hidup di bawah "topeng" budaya India.
Georges Cœdès dihargai dalam dunia arkeologi atas penemuan kembali Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang,Indonesia, yang melebarkan pengaruh sampai seantero Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Jawa. Warga Indonesia, termasuk di Palembang, tak pernah mendengar nama Sriwijaya hingga Cœdès menerbitkan penemuan dan penafsirannya dalam publikasi berbahasa Belanda dan Indonesia.. Meskipun begitu, di antara kaum elit terdidik dan juga bangsawan, sejarah kerajaan yang datang silih berganti dan nasibnya amat dikenal.

Tuesday, August 4, 2020

Asal Mula Pamor

Tidak ada data tertulis yang pasti mengenai kapan orang Nusantara menemukan teknik tempa senjata berpamor. Namun jika dilihat bahwa sebagian bilah keris Jalak Buda sudah menampilkan gambaran pamor, bisa diperkirakan pamor dikenal bangsa Indonesia setidaknya pada abad ke-7. Pamor yang mereka kenal itu terjadi karena ketidaksengajaan, dengan mencampur beberapa macam bahan besi dari daerah galian yang berbeda. Perbedaan komposisi unsur logam pada senyawa besi yang mereka pakai sebagai bahan baku pembuatan keris itulah yang menimbulkan nuansa warna yang berbeda pada permukaan bilahnya, sehingga menampilkan gambaran pamor.

Keris dan tombak tangguh Jenggala sudah menampilkan rekayasa pamor yang amat indah dan mengagumkan. Jelas pamor itu bukan berasal dari ketidaksengajaan, melainkan karena teknik tempa dan rekayasa si empu. Inilah yang menimbulkan tanda tanya, apakah Jenggala dalam perkerisan sama dengan Jenggala dalam ilmu sejarah? Mengapa budaya masyarakat di kerajaan yang berdiri pada abad ke-11 itu sudah terampil membuat rekayasa seni pamor?

Bahan Pamor
Selain menunjuk pada pengertian tentang pola gambarannya, pamor juga dimaksudkan menunjuk pengertian mengenai bahan pembuat pamor itu.

Ada empat macam bahan pamor yang acapkali digunakan dalam pembuatan keris, dan tosan aji lainnya. Dari yang empat itu, tiga di antaranya adalah bahan alami, sedangkan bahan pamor yang keempat adalah unsur logam nikel yang telah dimurnikan oleh pabrik.

Bahan pamor yang tertua adalah bahan keris dari dua atau beberaoa senyawa besi yang berbeda. Senyawa besi yang berbeda komposisi unsur-unsurnya itu, tentunya didapat dari daerah yang berbeda pula. Dari bahan pamor ini, pamor yang terjadi dinamakan pamor sanak.

Bahan pamor lainnya adalah batu bintang atau batu meteor. Penggunaan bahan meteorit untuk bahan pamor bukan hanya dilakukan oleh para empu di Pulau Jawa, juga di daerah lain di Indonesia. Badik batu dan mandau batu, misalnya, dibuat oleh orang Sulawesi dan Kalimantan.

Di Sulawesi selain batu bintang atau batu meteor, ada bahan pamor lain yang banyak terdapat di daerah Luwu. Bahan pamor dari Luwu ini kemudian menjadi komoditi dagang antarpulau, bahkan juga dikenal dan diperdagangkan di Singapura, Semenanjung Malaya, dan Thailand. Mereka mengenalnya sebagai pamor Luwu atau bassi pamoro.

Jenis bahan pamor yang terakhir adalah nikel. Dulu, beberapa puluh tahun yang lalu, nikel lebih sering dijumpai sudah bercampur dengan unsur logam lainnya, biasanya dengan besi. Tetapi kini, tahun 2000, mudah didapat nikel murni yang dijual kiloan.

Kanjeng Kyai Pamor
Dari empat macam bahan pamor itu, batu meteorlah yang terbaik, karena bahan itu mengandung titanium yang banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan pamor lainnya. Bahan baku pamor meteorit yang terkenal adalah yang berasal dari daerah Prambanan, Jawa Tengah, yang kemudian dinamakan Kanjeng Kyai Pamor dan disimpan di halaman Keraton Kasunanan Surakarta.

Jenis-jenis Pamor Keris

Ditinjau dari teknik pembuatannya, dikenal adanya dua macam pamor, yakni pamor mlumah dan pamor miring. Dibandingkan dengan pamor miring, pamor mlumah relatif lebih mudah pembuatannya, dan resiko gagalnya lebih kecil. Itulah sebabnya rata-rata nilai mas kawin (harga) keris berpamor mlumah lebih rendah dibandingkan keris yang berpamor miring.

Ditinjau dari bagaimana terjadinya pamor itu, macam-macam motif pamor dibagi dalam dua golongan besar, yakni pamor tiban atau pamor jwalana, dan pamor rekan atau pamor Pamor Pulo Tirto, termasuk pamor rekananukarta. Yang digolongkan pamor tiban adalah jenis motif atau pola gambaran pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan dahulu oleh si empu. Gambaran pola pamor yang terjadi bukan karena diatur atau direkayasa oleh Sang Empu, dianggap sebagai anugerah Tuhan. Pola pamor golongan ini di antaranya, Wos Wutah, Ngulit Semangka, Sumsum Buron, Mrutusewu, dan Tunggak Semi.

Sedangkan yang digolongkan pamor rekan, adalah pamor yang pola gambarannya dirancang atau direkayasa lebih dahulu oleh Sang Empu. Termasuk jenis ini di antaranya, pamor Adeg, Lar Gangsir, Ron Genduru, Tambal, Blarak Ngirid, Ri Wader, dan Naga Rangsang. Pamor Mayang Mekar termasuk pamor rekan

Penamaan dan Simpangsiurnya Nama Pamor
Karena ragam pola gambaran pamor jumlahnya banyak sekali, untuk membedakan pola satu dengan lainnya, tiap motif pamor itu diberi nama. Ada dua cara pemberian nama pamor dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa.

Pertama, dengan melihat hasil akhir penampilan pamor yang tampak. Jadi, jika gambar pamor itu mirip dengan kulit semangka, pamor itu disebut Ngulit Semangka, walaupun mungkin Sang Empu bukan berniat membuat pamor Ngulit Semangka, tetapi Wos Wutah.

Kedua, dengan memperkirakan niat Sang Empu. Misalnya, jika si empu diperkirakan berniat akan membuat pamor Ri Wader, ternyata jadinya mirip dengan gambaran pamor Mayang Mekar, maka pamor itu tetap dinamakan pamor Ri Wader, tetapi gagal. Karena kegagalan itu, nama pamor itu ditambah dengan kata 'wurung' sehingga menjadi Ri Wader Wurung.

Tetapi penamaan cara yang kedua ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami teknik pembuatan pamor. Orang kebanyakan, yang bukan pakar - jelas akan memakai cara penamaan pamor yang pertama.

Yang juga membingungkan, adanya perpedaan penyebutan nama pamor. Contohnya, pamor Lawe Setukel, ada yang menyebut Benang Satukel atau Lawe Saukel, atau Benang Saukel. Ada lagi, Blarak Sinered, Blarak Ginered, atau Blarak Ngirid. Ada lagi, Melati Rinonce atau Melati Rinenteng atau Melati Sato-or. Dan, masih banyak lagi kesimpangsiuran semacam itu.

Yang lebih parah dari itu, misalnya: Pamor Sada Saler atau Adeg Siji. Namanya beda, tapi pola pamornya yang itu-itu juga. Perbedaan nama ini makin jauh lagi, karena nama Sada Saeler disalahucapkan menjadi Sada Jaler, dan kemudian menjadi Sada Lanang. Dan yang agak menggelikan nama Sada Saeler ditulis oleh orang Belanda dengan ejaan Sadasakler, kemudian nama itu diterjemahkan menjadi sadasa kleur yang artinya 'sepuluh warna'. Ini karena kata kleur yang berasal dari bahasa Belanda memang berarti warna.

Istilah-istilah Mengenai Pamor
Dalam buku-buku lama mengenai keris sering dijumpai berbagai istilah untuk menggambarkan keadaan dan penampilan pamor. Bahasa Jawanya: Wujud semuning pamor.

Istilah-istilah itu pada umumnya kurang begitu dikenal orang yang hidup pada masa kini. Di antaranya adalah:

1. Pamor yang mrambut, merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan rabaan (grayangan - Jw.) - yakni pamor yang jika diraba dengan ujung jari rasanya seperti meraba rambut, Munculnya pamor semacam itu pada permukaan bilah keris bagaikan susunan helaian rambut, atau seperti serat-serat yang halus dan lembut.

2. Pamor yang ngawat, juga berkaitan dengan kesan rabaan seperti di atas, tetapi rasa rabaannya tidak sehalus pramor yang mrambut, - melainkan seolah-olah seperi rabaan jajaran kawat yang lembut.

3. Pamor yang nggajih merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan, yakni pamor yang tampak seperti lemak beku menempel di permukaan bilah keris. Keris atau tosan aji yang pamornya nggajih biasanya adalah keris yang bermutu rendah atau yang sering disebut keris rucahan. Keris semacam itu jika dijentik (dithinthing - Jw.) biasanya tidak berdenting.

4. Pamor mbugisan adalah istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan dan rabaan. Permukaan bilah keris yang pamornya tergolong mbugisan rabaannya halus, sedangkan gradasi berbedaan warna antara besinya yang hitam dan pamornya yang putih keperakan tidak nyata terlihat, tidak kontras.

5. Pamor yang nyanak adalah istilah untuk pamor Sanak atau pamor peson, merupakan istilah penilaian pamor menurut kesan penglihatan dan rabaan. Alur-alur pola gambaran pamor ini tidak jelas, tak kontras, tetapi rabaannya sangat terasa, agak kasar. Keris berpamor sanak biasanya dibuat dari bahan pamor yang berupa mineral besi yang didapat dari daerah lain. Jika dijentik, keris dengan pamor sanak tidak berdenting nyaring.

6. Pamor yang kelem, yang yang penampillannya cukup jelas, cukup kontras, tetapi sedemikian rupa sehingga seolah yang terlihat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan pamor. Seolah sebagian terbesar dari pamor itu 'tengelam' di dalam badan bilah. Pamor yang kelem itu jika diraba akan terasa lumer atau halus dan lembut.

7. Pamor yang kemambang adalah kebalikan dari pamor yang kelem. Pamor ini memberi kesan seolah bagian pamor yang tertanam di badan bilah hanya sedikit saja. Jika diraba, pamor kemambang juga memberikan kesan lumer dan halus.

8. Pamor yang ngintip adalah istilah penamaan pamor yang sangat kasar perabaannya, malahan kadang-kadang di beberapa bagian terasa tajam. Pamor yang ngintip ini bisa terjadi karena dua sebab.  Pertama si empu boros atau dermawan (loma- Jw.) terhadap bahan pamor yang digunakannya, sehingga jumlah bahan pamor yang digunakan berlebihan. Bisa juga terjadi karena ketidaksengajaan, yakni untuk memberikan kesan wingit pada keris itu.

Sebab yang kedua adalah si empu menggunakan bahan pamor bermutu tinggi, tetapi besi yang digunakan mutunya kurang baik, sehingga besi itu cepat aus. Sewaktu besinya sudah aus, sedangkan pamor tidak, maka pamor itu akan 'muncul' di permukaan bilah secara berlebihan.

9. Pamor yang mubyar yakni pamor yang tampak cerah, cemerlang, dan kontras dengan warna besinya. Walaupun warnanya kontras, namun jika diraba akan terasa lumer, halus.

Selain istilah-istilah yang di atas, untuk menilai pamor orang juga mengamati kondisi tertanamnya pamor pada badan bilah keris atau tosan aji lainnya. Menurut istilah Jawa, kondisi itu disebut tancebing atau tumancebing pamor.

Tancebing atau kondisi tertancapnya pamor pada badan bilah ada dua macam, yakni pandes (pandhes), yang tertanamnya pamor seolah dalam dan kokoh; dan kumambang, yaitu yang seolah-olah mengambang atau mengapung di permukaan bilah.

Tuah  Pamor dan Perlambang

Banyak penggemar keris yang mengkaitkan nama dan motif pamor dengan tuah keris atau tombaknya. Untuk mengetahui sebuah keris atau tombak itu baik atau tidak tuahnya, orang lebih dahulu akan mengamati jenis motif pamornya. Begitu pula jika orang ingin tahu apa tuah atau manfaat keris itu, yang pertama kali dilihat adalah pamornya. Itulah sebabnya, mengapa di kalangan penggemar keris timbul istilah ‘membaca pamor’. Mereka menganggap bahwa tuah keris dapat dibaca dari pamornya.

Anggapan itu tidak bisa disalahkan. Soalnya, seandainya pamor itu termasuk jenis pamor tiban, gambaran yang muncul dianggap sebagai pratanda dari Tuhan mengenai isi dan tuah keris itu. Jadi, motif atau pola yang tergambar pada pamor itu dianggap sebagai petunjuk untuk memperkirakan baik buruknya keris itu, sekaligus juga memperkirakan tuah apa yang terkandung di dalamnya.

Kalau motif pamor itu tergolong pamor rekan, maka pamor itu akan direka oleh Sang Empu sedemikian rupa sehingga bentuk gambarannya sesuai dengan niat empu, yang dirupakan dalam doa adan mantera yang diucapkannya. Misalnya, jika Sang Empu menginginkan keris buatannya mempermudah si pemilik untuk mencari rezeki, ia akan membuat pamor Udan Pamor Udan Mas Mas, Pancuran Mas, Tumpuk, atau Mrutu Sewu. Tetapi jika si empu ingin agar keris buatannya bisa menambah kewibawaan pemiliknya, empu itu akan membuat keris dengan pamor Naga Rangsang, Ri Wader, Raja Abala Raja, dan yang sejenis dengan itu.

Gambaran motif pamor adalah perlambang harapan. Harapan Sang Empu, sekaligus juga harapan si pemilik keris.

Kira-kira sama halnya dengan gambaran rajah penolak bala. Atau mungkin serupa pula dengan gambaran Patkwa yang oleh masyarakat keturunan Cina dipercayai memiliki tuah sebagai penolak bala. Mungkin mirip juga dengan kepercayaan sebagian orang Eropa yang menganggap bentuk ornamen ladam kuda (sepatu kuda) sebagai bentuk yang dianggap bisa mengusir setan dan roh jahat.
Dalam budaya Jawa - mungkin juga dibilang budaya Indonesia, bentuk-bentuk tertentu membawa perlambang maksud dan harapan tertentu pula.

Bentuk bulatan, lingkaran, garis lengkung, atau gambaran yang memberikan kesan lumer, kental, tidak kaku, melambangkan kadonyan atau kemakmuran duniawi, kekayaan, rejeki, keberuntungan, pangkat, dan yang semacam dengan itu.

Bentuk gambaran garis yang menyudut, segi, patahan, seperti segi tiga, segi empat, dan yang serupa dengan itu, dianggap sebagai lambang harapan akan ketahanan atau daya tangkal terhadap godaan, gangguan, serangan, baik secara fisik maupun nonfisik. Jika gambaran itu dirupakan dalam bentuk pamor, itu melambangkan harapan akan kesaktian dan kadigdayan.

Bentuk garis lurus yang membujur atau melintang, atau diagonal, dipercaya sebagai lambang harapan akan kemampuan untuk mengatasi atau menangkal segala sesuatu yang tidak diharapkan. Pamor yang serupa itu dianggap dapat diharapkan kegunaannya untuk menolak bala, menangkal guna-guna dan gangguan makhluk halus, menghindarkan bahaya angin ribut dan badai, terhindar dari gangguan binatang buas dan binatang berbisa. Misalnya, pamor Adeg.

Karena itulah, seorang empu sebenarnya juga bisa dibilang seniman yang memahami bahasa perlambang, dan menggunakan     gambaran           pamor sebagai media komunikasi.


PAMOR KERIS PEMILIH

Sering kita mendengar cerita dimasyarakat tentang orang yang tidak cocok pada keris pusakanya, baik keris dari warisan, pemberian orang, mas kawin atau yang mendapatkan dengan cara-cara lainnya. Ada banyak sekali jenis dari keris yang berpamor pemilih dan berpamor yang kurang baik, hal ini dikarenakan oleh berbagai macam faktor diantaranya :

1. Saat Empu membabar / membuat pusaka konsentrasinya terganggu oleh sesuatu hal sehingga mantra yang seharusnya baik menjadi salah ucap atau tidak sesuai maka mengakibatkan keris tersebut mempunyai tuah yang kurang baik Contohnya : Pusaka Empu Gandring, sebelum keris selesai dibuat sang Empu dibunuh oleh Ken Arok dan mengucapkan kata – kata kutukan yang masuk ke keris tersebut, dan terbukti keris tersebut mempunyai tuah seperti maksud dari kutukan empu Gandring.

2. Pamor Adalah sebuah bentuk ilustrasi atau gambar yang muncul dipermukaan bilah keris, nama-nama pamor sangat banyak dan beragam sesuai bentuk dan kemiripannya dengan alam, sebagai contoh ; Pamor Beras Wutah, Pamor Sasa Sakler, Pamor Blarak Ngirid, Pamor Udan Mas dan lain sebagainya. Terdapat beberapa jenis pamor yang memang mempunyai tuah yang kurang baik antara lain :

Pamor Satria Wirang : membawa kesengsaraan pemiliknya.
Pamor Sujen Nyawa : pusaka ini menginginkan pemiliknya untuk segera meninggal.
Pamor Dengkiling : mempunyai angsar cengkiliing / jahil pada pemiliknya.
Pamor Yoga Pati : angsarnya anak pemilik pusaka sering sakit sakitan.
Pamor Tundung : membuat pemiliknya sering pindah-pindah tempat / usaha.

3. Ada beberapa pusaka yang pemilih, maksudnya pusaka ini hanya cocok pada orang – orang tertentu saja sehingga kalau tidak cocok dengan seseorang yang memilikinya maka akan menjadikan pemiliknya tidak nyaman atau tidak tentram dalam berbagai kehidupan. Pusaka ini biasa tersirat pada pamor atau juga dapur pusakanya. Sebagai contoh sebuah keris dapur Kebo Lajer adalah keris untuk para petani dan peternak maka tidak akan cocok atau tidak sesuai jika dimiliki oleh seorang pejabat, Keris Dapur Sangkelat adalah keris untuk para petinggi tidak akan cocok untuk petani.

4. Pusaka yang sudah cacat atau tidak WUTUH juga mempunyai pengaruh kurang baik pada pemiliknya, seperti pegat waja, pugut / putus , Nyangkem kodok, Randa beser dan sudah terlalu aus sehingga sudah tidak terbentuk lagi sebagai pusaka. Hal ini dapat digambarkan seperti mobil jika remnya sudah tidak ada maka mobil tersebut akan sangat membahayakan bagi yang mengendarainya.

Muncul pertanyaan “Keris yang tidak cocok tersebut harus dikemanakan ? “, Bila keris tersebut cacat maka bisa dibetulkan oleh seorang empu dimasa sekarang masih ada empu yang dapat memperbaiki keris yang cacat atau rusak tepatnya di kota Solo atau Jogyakarta, tapi ada juga yang rela keris –keris tersebut dilarung ke sungai tapi ini adalah suatu tindakan yang keliru, karena keris tersebut adalah juga suatu karya yang adiluhung maka sebaiknya diserahkan ke Museum, kalau di Semarang dapat diserahkan ke Museum Rangga warsito yang siap untuk menerima pusaka – pusaka anda yang memiliki ciri-ciri yang kurang baik”. Jika sampai hilang dari nusantara maka untuk studi penelaahan keris akan menemui hambatan sebab banyak keris yang hilang karena dilarung. Walau keris itu Kurang Cocok alangkah baiknya jika diserahkan ke museum, biar negara yang menampung dan merawatnya agar budaya adiluhung kita tidak hilang. Maka jika ingin memiliki pusaka KERIS sebaiknya memperhatikan 3 hal yaitu TANGGUH, SEPUH dan WUTUH..

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, semua hasil karya manusia yang gagal atau salah dalam perhitungan, pengerjaan atau perencanaan akibatnya akan dapat membahayakan manusia, jadi tidak hanya keris. Jembatan, rumah, toko, gedung juga memiliki pengaruh yang tidak baik bagi yang menempati atau memiliki jika terdapat kegagalan dalam proses pembuatannya. intinya jika sesuatu hal itu dirancang dan dikerjakan dengan perencanaan yang matang, hati yang baik dan iklas maka hasilnya juga akan baik.

 beberapa contoh jenis besi menurut empu kuno:

  • Besi Karangkijang = Energinya dingin dan sabar
  • Besi pulosani =manfaatnya untuk kewibawaan, dapat kaya, dan keriernya baik.
  • Besi mangangkang (Wadon / betina) =manfaatnya kalau dibawa pergi mudah dapat rejeki.
  • Besi Walulin.=manfaatnya yang punya selalu sehat kuat, dalam bidang pertanian subur tanamannya, dihormati orang banyak, dan dapat berbuat tegas dalam menyelesaikan perkara.
  • Besi Katub.= manfaatnya cocok untuk pedagang, apa yang dikehendaki dapat tercapai, dan juga untuk keselamatan.
  • Besi Kamboja.=manfaatnya untuk kewibawaan, disegani orang banyak, kariernya baik. Tetapi tidak boleh berbuat jahat, kalau melanggar mendapat celaka.
  • Besi Ambal=manfaatnya dapat menarik keris lain.
  • Besi Winduaji=manfaatnya untuk keselamatan.
  • Besi Tumpang.=manfaatnya untuk kewibawaan dan daya pesona.
  • Besi Werani =manfaatnya untuk mencapai pangkat tinggi, kaya raya, dan Sukses dalam kepemerintahan.
  • Besi Walangi. =manfaatnya dapat lancar untuk mencari sandang pangan, juga untuk penghasihan, dan jangan untuk usaha simpan pinjam.
  • Besi Terate.=manfaatnya dicintai oleh wanita, dan keselamatan.

ada juga besi2 yang mempunyai manfaat berlawanan dengan besi diatas.

Seperti halnya jamu yang dibuat oleh seorang ahli jamu, yang berasal dari berbagai macam tanaman yang memiliki fungsi sendiri-sendiri kemudian disatukan untuk sebuah pengobatan suatu penyakit. Keris juga demikian diramu dari berbagai jenis besi yang memiliki fungsi-fungsi tersendiri kemudian disatukan untuk sebuah tujuan bagi pemesannya.

Kalau jamu yang kita minum dapat memberikan efek kepada hidup dan kesehatan kita, keris juga demikian …. Namun perlu waspada dan jangan keliru dengan keris yang tidak diramu dari besi-besi pilihan.

Rencong Aceh

Senjata Rencong digunakan oleh pejuang Aceh dalam mempertahankan diri dan melawan penjajahan bangsa asing dahulu kala, tidak hanya pejuang yang menggunakan rencong namun juga raja-raja serta golongan bangsawan di Aceh memakai rencong sebagai senjata pertahanan terakhir.

Peletakan Rencong ini tidak seperti kebanyakan peletakan senjata tajam lainnya yang tersembunyi dan terkesan di sembunyikan, akan tetapi Rencong Aceh diselipkan di sisi depan pinggang yang akan mudah di lihat oleh siapapun yang bermakna kesetiaan, siap siaga bertempur dalam keadaan apapun tanpa pengkhianatan.
Saat ini rencong umum digunakan oleh bangsawan-bangsawan Aceh atau kepala daerah di Aceh yang digunakan sebagai lambang adat atau kebiasaan yang telah menjadi khazanah budaya Aceh dan digunakan pada acara-acara besar seperti, perkawinan, dan acara lainnya serta menjadi cindera mata .

Ukuran rencong tidak begitu besar seperti senjata tajam lainnya, akan tetapi Rencong Aceh memiliki sejarah yang melegenda hingga hari ini, secara historis asal usul Rencong yang menjadi senjata mematikan Aceh ini menceritakan bahwa dimasa kerajan Aceh dahulu ada burung (Gereudha dalam bahasa Aceh) sejenis Rajawali ukuran Besar yang mungkin hari ini telah punah, dan telah banyak melakukan keresahan bagi masyaakat setempat baik merusak teror terhadap kehidupan anak anak, serta mengkonsumsi seluruh tanaman warga, baik buah-buahan serta ternak juga mati karena Ulah Sang Gereudha itu. Banyak cara telah di tempuh beragam perangkapun sudah dipakai untuk menangkap burung itu, tetapi tak juga berhasil dan malah semakin menjadi-jadi melakukan tindakan yang mencemaskan tersebut.

Sehingga Raja mengambil kebijakan dengan mengumpulkan seluruh Ahli persenjataan untuk menciptakan senjata yang bisa membunuh Geureudha dimaksud. Maka oleh seorang Pandai Besi yang memiliki kelebihan ilmu maghrifat (Maghrifat Besi) melakukan Shalat Sunnat dan Puasa serta berdo’a minta petunjuk pada Allah untuk diberikan petunjuk senjata yang senantiasa dapat membunuh burung Gereudha itu.

Dan pada akhirnya Pande Besi mendapat petunjuk untuk membuat sebilah rencong dengan Besi pilihan dan struktur senjata di tempa mirip tulisan bismillah dalam aksara Arab dan juga pembuatannya penuh ketelitian serta penuh pengharapan pada Allah. Maka atas dasar itu lah rencong cuma bisa dipakai dalam jihad fisabilillah dan mempertahankan diri dari serangan kezaliman.

Sejarah mencatat seorang pejuang Aceh bisa berperang dan menewaskan segerombolan serdadu, baik itu Portugis, Belanda maupun Jepang yang bersenjata lengkap hanya dengan sebilah rencong, Laksamana Keumalahayati sebagai contoh yang hanya dengan sebilah rencong Membunuh Cornelis De Houtman di Atas geladak kapalnya.
Rencong memang kecil jika di lihat dengan kasat mata, akan tetapi Rencong Aceh yang sesungguhnya memiliki tuah yang sejati sehingga siapapun yang pernah menjajah Aceh sangatlah terpukul dan menanggung malu dikalahkan dengan senjata tradisional yang panjangnya tidak lebih dari 50 Cm.

Sejarah juga mengungkapkan ada banyak diantara serdadu Penjajah yang tidak sanggup memikikan peristiwa aneh yang di hadapi di Aceh. Bagaimana tidak, bedil bosa dikalahkan sama Rencong! Inilah keanehan Rencong Aceh Jaman dulu, yang menyebabkan timbul idiom bahwa pejuang Aceh sebagai orang yang telah hilang ingatan atau Aceh Pungo.
Rencong Aceh juga sebagai salah satu senjata paling mematikan yang pernah ada di jagad ini, menurut Pandai Besi Maghrifat yang kini sudah senja, jika tergores dengan Rencong Aceh yang asli itu sedikit saja maka nyawa taruhannya. Bukti keganasan rencong masih terpampang rapi di depan mata anak cucu yaitu ribuan kuburan Belanda di Aceh masih tersisa.

Rencong mempunyai tingkatan. Pertama, rencong yang dipakai oleh raja atau sultan. Rencong ini umumnya terbuat dari gading serta emas murni. Dan rencong biasa yang sarungnya umum terbuat dari tanduk kerbau atau kayu pilihan, sedang belatinya dari kuningan atau besi putih dengan bilah yang runcing dan tajam.

Saturday, August 1, 2020

Candi Muaro Jambi

Situs purbakala yang berada di di Kabupaten Muarojambi adalah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara. Kompleks situs candi kuno Muarojambi ini juga dikenal sebagai tempat pengajaran agama Buddha yang sudah ada sekitar seribu tahun lalu
Candi yang terletak di Danau Lamo, Maro Sebo, dan dekat dengan Sungai Batang Hari ini memiliki 82 reruntuhan bangunan kuno (menapo).
Tidak hanya luasnya yang diperkirakan berukuran delapan kali Borobudur, komplek Candi Muarojambi disebut juga sebagai situs kota kuno di Sumatera.
Penemuan dan pemugaran
Candi ini memiliki luas sekitar 12 km persegi dengan panjang lebih dari 7 km serta luas nya mencapai 260 hektar.  Kompleks Percandian Muaro Jambi secara total berisi 61 bangunan candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum digali (diokopasi).
Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-7-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar, dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. 
Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, China, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "wajra" pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Candi Muarojambi adalah sebuah kompleks percandian Hindu-Buddha.
Pada bagian-bagian bangunan candi dapat menunjukkan bahwa pada zaman dulu Candi Muarojambi ini pernah dijadikan sebagai salah satu pusat tempat peribadatan agama Budha Tantri Mahayana di Indonesia.


Beberapa hasil temuan benda sejarah yang terdapat pada Candi Muarojambi, seperti hasil reruntuhan Stupa, Arca Gajah Singh, dan Arca Prajinaparamita, makin memperkuat bukti sejarah bahwa candi ini sudah lama dijadikan sebagai pusat kegiatan agama Budha.
Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan ditemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "wajra" pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Candi Muarojambi diperkirakan berasal dari abad ke-11 Masehi. Kompleks candi ini, kali pertama dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke, yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer.
Lalu, pada 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Perkiraan peninggalan di Candi Muarojambi berkisar dari abad ke-9-12 Masehi.
Di situs ini sudah sembilan bangunan telah dipugar, semuanya bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.

Beberapa arkeolog juga menyimpulkan, kompleks Candi Muarojambi dahulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Hal itu nampak dari ada manik-manik yang berasal dari Persia, China, dan India. 
Kompleks percandian Muarojambi secara total berisi 61 bangunan candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum digali (diokopasi).
Pada tahun 2012, Kompleks Candi MuaroJambi ditetapkan sebagai Kawasan Wisata Sejarah Terpadu (KWST).
Beberapa candi yang sudah dipugar dan bisa dikunjungi para pelancong antara lain Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gumpung, Candi Gedong 1 dan 2, Candi Astano, serta kolam Talaga Rajo. 

Candi Gempung adalah candi yang terlihat pertama kali saat wisatawan tiba di Kompleks percandian Muarojambi. Hamparan hijau di depan candi membuat Anda seperti berada di mini savana.
Wisatawan juga dapat melihat kanal-kanal tua dan tanggul alam kuno yang masih terlihat jelas mengelilingi Kompleks Percandian Muarojambi.