Search This Blog
Saturday, June 5, 2021
Nama-nama Keris Luk 5
Nama-nama Keris Luk 3
Memiliki makna sebagai sarana untuk membantu pemiliknya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dan membantu supaya keinginan-keinginan si pemilik keris dapat lebih cepat tercapai, misalnya keinginan dalam hal kekuasaan, kepangkatan dan derajat.
Merupakan lambang harapan dan karunia kesejahteraan, kemakmuran dan kemuliaan. Dibandingkan keris lurus, keris ber-luk 3 lebih menandakan kekuatan hasrat duniawi manusia yang ingin dicapai.
Keris ber-luk 3 lebih menonjolkan keseimbangan antara kehidupan kerohanian dan duniawi manusia, keseimbangan antara sisi spiritual dan jasmani, kemapanan duniawi dan batin dalam menjalani kehidupan di dunia.
Friday, June 4, 2021
Nama-nama Keris Lurus
Perkembangan Keris
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh88Fi0nGfkGXs0AF9B0Y7t1WbaEg8Obj1lrIB5XJk2ZV7Ta-RHE_WTJIEYl7H9Fwdhdoxh5QEAYVNT2gsYu00z8etosqk8q-q9FdbgCx7oLzqNdbxoDzapdNt0EcErylz4ME3Yn9BLtc44/w300-h400/Keris+Siginjai.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4li0a0JdurRTH9jGZ1oe9vg2nAdXcim3vVyjq8ER4D8km0GYNev3LlekEdckSU-2Ve3RW1zicZdDIlJC33QFk6XBgsKK90jkQyBYo4vRc0eCvMBGkoc3o-BsyLRAo_z1R_NzKTD335SK5/w400-h229/Kesultanan+Aceh.jpg)
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBnOsmzs2HrCUIDgclWSYDxiWMS4ltStRUiriJoOYtzhqY1nw1rHfPUwGHxAjxuA_EyQTtmHLuPdDFESNkdZqaAE9_GgfGjbneDapRslvQ6hU5bm1s9nSgQDWQK4Wdyzzg1HjD723fM8DY/w400-h265/upacara-upacara+kebesaran.jpg)
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia , sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudi, dan keris . Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Budha", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal Keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Budha dan keris Sajen. Keris Sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
Bahan, pembuatan, dan perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nom-noman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuno) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Jawa, satu diantaranya yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut Saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut Kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7VMkJXZcq2ACRIOI97Dc8nCvCuLpJXko69VGDFvFQJF__ieeP872czXe5M4fe9_9GhPdY82b4nhKUAeLsMRnZ2zRb5b-KoUYSlv1g0qS_QC8sU59WCxccVXQ7jsCqKASBYHpQ7Y3LST2U/w400-h266/pembuatan+keris.jpg)
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura disebut Jamasan , meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.
Saturday, May 29, 2021
Keris Palembang
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan Jarak Dekat , sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfgNWjQ_WRTOc3OsmiePS2Idw2eFZqPeIExPXbRoz04Y-HYTguBakLg2cWuPFeQkUnzx3t6mwuHuQOsenNO7SfmozwOrXjDJwun8sUue_MdUG_EhtP79ARC1Xo0k_uQv-UAx8FU8tC5cho/w480-h640/Keris+Palembang.jpg)
Salahsatu juga karakteristik keris Palembang menurutnya, yang unik adalah sarung keris (warangka) yg melambangkan sebuah kerajaan bahari atau maritim yaitu Bidar Palembang atau badan kapal.
Jaman Kesultanan Palembang, keris Palembang diproduksi di lingkungan guguk Kepandean tidak jauh dari keraton (18 Ilir).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_rSXVEq_rn-VvhSHfryhgkw0YN_emAAGpSu8QlMNvFJjsJ_gLWTEUeX7gSGXa-KDGnqgdK313G0pOp2hPIEgRg50hZyVAB-RpUvjUxL1m9Caif-OYSXVM5_6clft1E7xQV3HItf24oA8d/w400-h291/Empu+Palembang.jpg)
1. Pangeran Sido ing Kenayan (era Kerajaan Palembang).
2. Kiagus Empu (era Kesultanan Palembang).
3. Empu Kgs. Abdullah (akhir Kesultanan).
4. Empu Akim (sampai tahub 1914, era kolonial).
5. Empu Anang, dll
“Keris Puyang Palembang yg terkenal yaitu, keris Ki. Kala Cangak (milik Ario Dilah, Raden Fatah, dll),” katanya.
Sedangkan keris Pusaka Palembang yaitu keris picitan (buatan Pangeran Sido ing Kenayan, dan sepuhan Ratu Senuhun). Selain itu Keris Pusaka Sultan Palembang dikenal dg Keris Carito.
Fungsi Keris Palembang:
– sebagai simbol adat.
– Upacara kebesaran.
– Senjata Pusaka.
– Simbol Legitimasi.
– Kehormatan dan harga diri pria (bangsawan).
– Senjata Perang.
– Pakaian Adat Palembang.
– Senjata Tradisional Pencak Silat.
– dll.
Senjata Tradisional Aceh
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRmg6uIbhnSHd8wz0i-HjybT8X8s2X3U-4ZxRSvOz_BJ7cF3-FeiYXuUiUMxI_E1J8EJpVttKNrQTyh5JsLjHjp1WEdZQnpvPk8tzBVsZKjoXtaK3oUTH9xAYIZpGmfL71z-J2m7ID7VYm/w400-h245/Rencong.jpg)
Jika dilihat secara bentuknya, rencong berbentuk seperti pedang namun dengan ukuran yang lebih kecil. Juga seperti pisau, namun lebih besar.
Sekilas, senjata tradisional Aceh ini terlihat runcing pada bagian ujungnya, serta memiliki semacam lengkungan di pangkal atau gagangnya. Pada zaman dahulu, para petinggi dan orang-orang terpandang di daerah Aceh memiliki rencong dengan gagang yang terbuat dari bahan tanduk, gading gajah, dan bahkan emas sekalipun. Jadi, keagungan rencong memang sudah dipercayai memiliki efek dan kredibilitas bagi pemiliknya.
Bagi masyarakat Aceh, rencong memiliki makna perjuangan, keberanian, serta kepahlawanan. Hal tersebut berangkat dari sejarah ketika era penjajahan kolonial Belanda di mana setiap orang Aceh baik pria maupun wanita pasti menyelipkan rencongnya ketika berangkat berperang.
Meskipun era peperangan melawan penjajah telah berlalu, pemaknaan terhadap senjata rencong ini masih dipercaya oleh masyarakat Aceh. Rencong hingga kini masih dimaknai sebagai simbol dari keberanian, kekuatan, serta ketangguhan yang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoY-TrKCNL_aVuOD-R6Eh3OBk2yt2TrnZj-XyGBga9IBgZe3ZETVjTCFu5pIbvm-SbS5hHBR5EXAmFqcbPABTE27Oyx6Cc_6UaHZKxSd1R_1l0KbyvjQVk7rWrxH8MloUuaXtYTT4Qcv2N/w400-h269/Siwah.jpg)
Di era modern ini, sulit untuk menemukan senjata siwah karena memang mustahil untuk mendapati orang yang mampu membuat senjata tradisional Aceh ini.
Kesimpulannya yaitu kamu tidak boleh mengesampingkan kehadiran siwah sebagai warisan luhur budaya nenek moyang, ya. Dengan kata lain, kita tetap harus menjaga dan melestarikan atau setidaknya tahu mengenai senjata yang sangat spesial ini.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS5JbXzZ1z61XHyj3GIr80HWGQhb01hyphenhyphen0v4lh4sCNpxX30mLiIp3Fycs5r0dtE8Qco-uWQwBZI91tykHywBh4ivSSgcNkGI23R0DqGN_f2pL9EaneLzgVvJrhJvYIyPpw-rHxQ5tMMb9D3/w640-h158/Peudeung.jpg)
Berdasarkan sejarah yang ada, para pejuang Aceh pada zaman dahulu menggunakan peudeung ini sebagai pasangan dari rencong. Rencong digunakan untuk menikam lawan, sementara peudeung ini digunakan untuk menebas dalam pertempuran jarak dekat.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjywjLKbvIW7Fxd_K_Whjr7FVGiNiqa-ikfaSP9FBc4xYj2xY32uMuk_RHoNklmUSp53JTQtLR41ndC95fBGvdSo_YF9n8V9f5xGjARe2zrKVDu5uUMs-Z14HkWqcG5PVGy_WkMz1t7Plv1/w400-h300/Reuduh.jpg)
Selanjutnya, jika kamu mengamati secara lebih cermat, gagang reuduh ini memiliki motif yang unik. Motif tersebut tentu saja bukan diciptakan sembarangan. Adapun tujuan digunakannya motif pada gagang senjata yaitu untuk menambah kenyamanan si pengguna senjata. Selain itu, gagang yang berbentuk melengkung tentunya tidak akan mudah lepas jika digenggam.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh03mwIxq6NivcvrkRTJ4eC35kO0_B6pX-ahAD-DspDaaz2T9vMwwVV2yjU972DWmDanySCQT8JlUwVQ8i7aIqkvGYPef03m99PJaVcSWNMSfXVUBPWfSI1C5SzteTP7wO2_U2u4hphD02E/w400-h198/Meucugek.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDO4fz4TwALBiOrwWuy9BoLtK5BdX36xVSzt8UxbQYlw5TlTJIbQnwR5DctcssfardE8d-iVMmW2rp3IIdxIiKR-BYEXzP8nEWN0DXPEr5vOi2LYnHvB_ZgaKdflxjtZaJiq_CS6m_xciT/w400-h284/Peudeung+Tumpang+Jingki.jpg)
Desain pedang memang terlihat simpel. Namun jangan salah, senjata tradisional Aceh ini memiliki manfaat dan perubahan yang berarti jika digunakan dalam pertempuran. Pedang yang besar dan tebal tentu tidak akan goyah ketika berhadapan dengan pedang lain yang berukuran lebih tipis.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzEkle6CBycORsR5EvfDnR57RlZHZ5GEwOjjqv6PR6_ZYTVx5Dr1e7qpt6pWC-WnNbpf6UfebFqJZEMx-3emRFzQjTUHBClLGLnS3ZUB7t_jcYEZ6O_T4sNaRzau2AyoM4xOYaIHWBVcry/w400-h153/Rencong+Meukuree.jpg)
Begitulah ulasan mengenai tujuh senjata tradisional Aceh. Aceh memang dikenal karena masyarakatnya yang masih mempercayai keistimewaan dari senjata tradisionalnya. Oleh sebab itu, tak heran jika Aceh dikenal dengan julukan Tanah Rencong. Bagaimanapun, setelah mengetahui penjelasan mengenai tujuh senjata dari Tanah Rencong di atas, kamu pasti bisa menambah wawasan mengenai keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
Jangan pernah berhenti mencari tahu mengenai budaya, ya. Karena budaya menunjukkan identitas dan kekayaan suatu bangsa.
Wednesday, May 19, 2021
Kesultanan Palembang
Pada 1636 atas diplomasi Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Palembang dibawah Pangeran Seda ing Kenayan (1630-1642) setuju menjadikan wilayahnya sebagai ‘vassal’ dari Mataram. Keduanya merasa sama sama penerus Kesultanan Demak dan Palembang membutuhkan sekutu sebagai sebagai pelindungnya dari ancaman dari Banten dan VOC. Pada perkembangan selanjutnya di dibawah Sunan Amangkurat I (1645-1677) , Mataram malah bermesraan dengan VOC, sebaliknya Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) justru bermusuhan dengan Batavia.
Sang Pangeran mengukuhkan dirinya sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Khalifatul Mukmin Sayidul Iman. Namanya pun diubah menjadi Abdurrahman, sebuah nama yang paling disukai Rasulullah SAW. Melalui perubahan gelar ini, Pangeran Kimas Hindi tercatat sebagai pendiri Kesultanan Palembang Darussalam. Setelahnya tradisi dalam penggunaan nama raja-raja Negeri Palembang berubah dari Pangeran menjadi Sultan, sejajar dengan Sultan Mataram di Pulau Jawa. Keraton Palembang yang baru didirikan di Kuto Cerancangan, menggantikan Kuto Gawang yang terbakar pada perang tahun 1659. Di area Keraton ini didirikan juga dalem Beringin janggut berikut masjid yang saat ini tinggalan nama sejarahnya disebut Masjid Lamo.
Kimas Hindi berusaha untuk tetap memelihara Hubungan baik dengan Kesultanan Mataram di Pulau Jawa Namun hubungan tersebut mulai memburuk ketika Kimas Hindi merasakan sikap Mataram yang mulai berubah. Puncak keretakan dari hubungan Palembang dan Mataram ini bermula pada saat utusan Palembang yang dikirim menghadap Mataram tidak diterima secara layak. Sikap resmi Mataram ini menurut para ahli sejarah ada hubungannya dengan peristiwa di masa Pangeran Sido Ing Rejek. Kala itu setelah mengantar sang pangeran terjadi insiden terbantainya pasukan Mataram oleh Belanda . Saat kejadian itu penguasa Palembang dianggap tidak membantu, bahkan dituduh berpihak pada Batavia (VOC). Pada 1668, penguasa Palembang kembali mengirim utusan ke Jawa dengan membawa seekor gajah, beserta seperangkat kain mahal dan barang persembahan lain. Utusan resmi ini pun tidak pula diterima raja Mataram. Kimas Hindi menyimpulkan bahwa Mataram tidak perlu dihormati lagi.
Memperhatikan sikap politik Mataram, Kimas Hindi memutuskan tidak melihat manfaat keuntungan timbal balik dengan Mataram. Ki Mas Hindi mengambil keputusan, bahwa hubungan Ideologis-kultural sudah waktunya dihentikan. Palembang merupakan suatu kerajaan yang mandiri, dengan identitas sendiri. Seluruh tata cara dan kebiasaan berubah, keris, pakaian Jawa menjadi pakaian Melayu. Aksara Jawa diganti menjadi Aksara melayu (Pegon). Bahasa keraton yang masih menggunakan bahasa Jawa, namun untuk rakyatnya sendiri sudah menggunakan bahasa Melayu Palembang.
Sejak masa itu Palembang tidak pernah lagi mengirim undangan berikut Hadiah-Hadiah ke Jawa. Di sisi lain, hubungan dengan VOC di Batavia secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan. Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan sultan Abdurrahman itu juga cukup diperhitungkan di antara negreri negeri Melayu. Negeri-negeri tetangga beberapa kali meminta bantuan Palembang dalam menghadapi peperangan di wilayahnya.
Pada 1669, Palembang mengirimkan armada nya untuk membantu Kesultanan Johor dalam perang Johor-Jambi. Sebagai imbalannya hak oenguasaan atas Kepulauan Bangka-Belitung diserahkan Kepada Kesultuanan Palembang. Terhadap Mataram, walau hubungan atasan-bawahan dianggap sudah selesai, Palembang masih mengirimkan 10 buah kapal untuk membantu Mataram menghadapi Trunojoyo yang memberontak di tahun 1677 Walau demikian, mengingat Kesultanan yang baru didirikan ini masih dalam masa penataan, tidak semua permohonan tersebut dapat dikabulkan.