Search This Blog

Saturday, June 5, 2021

Nama-nama Keris Luk 7

Keris ber-luk 7 terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keilmuannya sudah sempurna, sudah cukup, Tetapi Masih mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni mendalami Keilmuan . Keris ber-luk 7 dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Guru atau keluarga raja yang sudah matang dalam keilmuan dan psikologis selain itu digunakan untuk para tokoh kesepuhan di masyarakat.
 



Nama-nama Keris Luk 5

Keris ber-luk 5 dibuat untuk tujuan memberikan tuah yang menunjang wibawa kekuasaan dan supaya pemiliknya dicintai / dihormati banyak orang. Keris-keris jenis ini diciptakan untuk menjaga wibawa dan karisma keagungan kebangsawanan / keningratan, dihormati dan dicintai rakyat / bawahan, dan menyediakan kesaktian yang diperlukan untuk menjaga wibawa kebangsawanan .

Selain keris-keris ber luk 5, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah pusaka-pusaka yang dulu menjadi lambang kebesaran sebuah kerajaan / kadipaten / kabupaten, yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja, adipati, dan bupati jaman dulu atau keturunan mereka yang masih membawa sifat-sifat dan derajat leluhurnya itu. Selain itu, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah keris-keris berdapur Nagasasra yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja dan anggota keluarga raja saja, dan keris-keris berdapur Singa Barong untuk kelas di bawahnya, yaitu untuk adipati / bupati dan keluarganya.




Nama-nama Keris Luk 3

Makna spiritual dalam pembuatan keris ber-luk 3, yaitu sebagai lambang kedekatan manusia dengan Sang Pencipta, dan juga sebagai sarana membantu mempercepat tercapainya keinginan-keinginan sang pemilik keris.

Memiliki makna sebagai sarana untuk membantu pemiliknya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dan membantu supaya keinginan-keinginan si pemilik keris dapat lebih cepat tercapai, misalnya keinginan dalam hal kekuasaan, kepangkatan dan derajat.

Merupakan lambang harapan dan karunia kesejahteraan, kemakmuran dan kemuliaan. Dibandingkan keris lurus, keris ber-luk 3 lebih menandakan kekuatan hasrat duniawi manusia yang ingin dicapai.

Keris ber-luk 3 lebih menonjolkan keseimbangan antara kehidupan kerohanian dan duniawi manusia, keseimbangan antara sisi spiritual dan jasmani, kemapanan duniawi dan batin dalam menjalani kehidupan di dunia.





Friday, June 4, 2021

Nama-nama Keris Lurus

Jenis keris lurus mengandung sisi spiritual dalam pembuatannya sebagai lambang kelurusan hati, kepercayaan diri dan mental yang kuat, keteguhan hati pada tujuan dan sarana pemujaan kepada Sang Pencipta. Sesuai sifat kerisnya itu, si pemilik keris diharapkan selalu menjaga kelurusan dan keteguhan hati, tekun beribadah, menjaga moral dan budi pekerti dan sikap ksatria.
Keris lurus juga diidentikkan sebagai lambang ksatria, ketulusan hati dan sikap setia pada tanggung jawab, dan menjadi sarana doa untuk menundukkan keilmuan orang-orang jahat, untuk membela kebenaran dan orang-orang yang tertindas. Banyak ksatria jaman dulu yang lebih memilih keris lurus daripada keris ber-luk.

Dalam ritual-ritual pemujaan, selain si pemilik beribadah kepada Yang Maha Kuasa, keris itupun diberi sesaji dan doa sebagai sarana menyatukan kebatinan, menjadi satu kesatuan kebatinan supaya doa-doa sang pemilik keris, bersama kerisnya, dapat sampai kepada Yang Dipuja. Bagi pemiliknya, keris lurus berguna, selain sebagai senjata dan pusaka, juga menjadi sarana untuk membantu dalam kerohanian.











Perkembangan Keris

Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.
Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara tradisonal atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk yang berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai Keris Sesaji atau Keris Sajen.
Keris sebagai senjata yang memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram Palembang Sumatra mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabuk Inten & Keris Siginjai.
Laporan Prancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatra (khususnya Kesultanan Aceh). Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah memberikan racun (Mudah hilang jika Dibersihkan) pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata.
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.

Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Sumatra keris menjadi identitas kemelayuan. 

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran. 


Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia , sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudi, dan keris . Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Budha", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal Keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Budha dan keris Sajen. Keris Sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Bahan, pembuatan, dan perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nom-noman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuno) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Jawa, satu diantaranya yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut Saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut Kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.

 
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi. 
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris menjadi tidak baik.

Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura disebut Jamasan , meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.

Saturday, May 29, 2021

Keris Palembang

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan Keris adalah Badik,Kujang ,Rencong, Senjata tikam lain asli Nusantara ada kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan Jarak Dekat , sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa,Bali,Madura,NusaTenggara,Sumatra,Kalimantan,Sulawesi,Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Keris Palembang dikatagorikan sebagai keris Melayu. Pengamat sejarah kota Palembang, Kms. H.Andi Syarifuddin menjelaskan Keris Palembang dikenal ampuh, anggun dan berdaya magis sejak zaman bahari, Kedatuan Sriwijaya. Meski terlihat sederhana, keris Palembang mempunyai ciri khas dan kharisma tersendiri. Secara garis besar bagian utama keris terdiri dari: Bilah keris dan ganja. Ragam Ukuran keris Palembang bervarian: kecil, sedang, dan panjang. Terbuat dari bahan 3 unsur logam: besi, baja, dan pamor.
Salahsatu juga karakteristik keris Palembang menurutnya, yang unik adalah sarung keris (warangka) yg melambangkan sebuah kerajaan bahari atau maritim yaitu Bidar Palembang atau badan kapal.
Jaman Kesultanan Palembang, keris Palembang diproduksi di lingkungan guguk Kepandean tidak jauh dari keraton (18 Ilir).
Para Empu terkenal pembuat keris pada masa itu antara lain:
1. Pangeran Sido ing Kenayan (era Kerajaan Palembang).
2. Kiagus Empu (era Kesultanan Palembang).
3. Empu Kgs. Abdullah (akhir Kesultanan).
4. Empu Akim (sampai tahub 1914, era kolonial).
5. Empu Anang, dll

“Keris Puyang Palembang yg terkenal yaitu, keris Ki. Kala Cangak (milik Ario Dilah, Raden Fatah, dll),” katanya.
Sedangkan keris Pusaka Palembang yaitu keris picitan (buatan Pangeran Sido ing Kenayan, dan sepuhan Ratu Senuhun). Selain itu Keris Pusaka Sultan Palembang dikenal dg Keris Carito.
Fungsi Keris Palembang:
– sebagai simbol adat.
– Perlengkapan upacara Perkawinan.
– Upacara kebesaran.
– Senjata Pusaka.
– Simbol Legitimasi.
– Kehormatan dan harga diri pria (bangsawan).
– Senjata Perang.
– Pakaian Adat Palembang.
– Senjata Tradisional Pencak Silat.
– dll.

Senjata Tradisional Aceh

Aceh adalah daerah yang memiliki banyak sejarah dan warisan kebudayaan yang penuh akan keunikan. Seperti yang kita ketahui, bagian barat dari NKRI sangat kental hubungannya dengan kebudayaan rumpun Melayu. Di samping itu apakah kamu tahu bahwa masyarakat Aceh juga dikenal masih sangat berprinsip dalam memegang teguh ajaran agama Islam serta tidak melupakan nilai-nilai kearifan lokal berupa adat istiadat dan budaya nenek moyangnya?
 
Rencong
Pertama, senjata tradisional yang sangat terkenal dari Aceh yaitu rencong. Rencong adalah senjata tradisional Aceh yang memiliki makna lebih dari sekadar benda tajam untuk alat pertahanan diri menghadapi musuh atau hewan buas di kala berburu di hutan. Bagi orang Aceh, rencong dianggap sebagai sebuah keagungan. Rencong merupakan martabat. Rencong melandasi semangat orang Aceh. Serta rencong adalah benda yang tidak luput akan makna dan falsafah hidup masyarakat Aceh.

Jika dilihat secara bentuknya, rencong berbentuk seperti pedang namun dengan ukuran yang lebih kecil. Juga seperti pisau, namun lebih besar.

Sekilas, senjata tradisional Aceh ini terlihat runcing pada bagian ujungnya, serta memiliki semacam lengkungan di pangkal atau gagangnya. Pada zaman dahulu, para petinggi dan orang-orang terpandang di daerah Aceh memiliki rencong dengan gagang yang terbuat dari bahan tanduk, gading gajah, dan bahkan emas sekalipun. Jadi, keagungan rencong memang sudah dipercayai memiliki efek dan kredibilitas bagi pemiliknya.
Selanjutnya, rencong memiliki variasi antara 10 sampai dengan 50 cm jika diukur dari bagian tajam hingga pangkalnya. Bagian tajam (ujung rencong) ini memiliki sarung yang diciptakan untuk melindungi si pemakai ketika si pemakai menyelipkannya di bagian depan perut.
Bagi masyarakat Aceh, rencong memiliki makna perjuangan, keberanian, serta kepahlawanan. Hal tersebut berangkat dari sejarah ketika era penjajahan kolonial Belanda di mana setiap orang Aceh baik pria maupun wanita pasti menyelipkan rencongnya ketika berangkat berperang.
Meskipun era peperangan melawan penjajah telah berlalu, pemaknaan terhadap senjata rencong ini masih dipercaya oleh masyarakat Aceh. Rencong hingga kini masih dimaknai sebagai simbol dari keberanian, kekuatan, serta ketangguhan yang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

Siwah
Kedua, senjata tradisional Aceh yang memiliki keindahan ragam budaya selanjutnya yakni siwah. Siwah adalah benda tajam yang tidak jauh berbeda secara fisik maupun peruntukkannya dengan rencong. Dengan wujud fisik yang ramping serta tajam pada bagian ujungnya, tentu kamu dapat mengetahui kalau senjata ini memang digunakan untuk melakukan penyerangan.
Lalu, apa yang membedakannya dengan rencong?
Jawabannya yaitu tingkat kelangkaan yang dimiliki siwah. Jika rencong bisa digunakan oleh semua orang, siwah hanya dikhususkan untuk dijadikan perlengkapan dari raja-raja pada zaman dahulu. Oleh sebab itu, terdapat hiasan-hiasan sebagai ornamen seperti butiran permata, emas, maupun benda-benda mewah lain yang menambah tampilan siwah ini menjadi semakin terlihat mewah dan spesial.
Di era modern ini, sulit untuk menemukan senjata siwah karena memang mustahil untuk mendapati orang yang mampu membuat senjata tradisional Aceh ini.
Kesimpulannya yaitu kamu tidak boleh mengesampingkan kehadiran siwah sebagai warisan luhur budaya nenek moyang, ya. Dengan kata lain, kita tetap harus menjaga dan melestarikan atau setidaknya tahu mengenai senjata yang sangat spesial ini.

Peudeung
Ketiga, peudeung. Pedang mungkin menjadi senjata pertama yang hadir di benak kamu ketika melihat senjata tradisional Aceh yang bernama peudeung ini. Peudeung adalah senjata jarak dekat yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk berperang. Secara panjang senjata, peudeung berukuran lebih panjang jika dibandingkan dengan rencong dan juga siwah.
Berdasarkan sejarah yang ada, para pejuang Aceh pada zaman dahulu menggunakan peudeung ini sebagai pasangan dari rencong. Rencong digunakan untuk menikam lawan, sementara peudeung ini digunakan untuk menebas dalam pertempuran jarak dekat.

Reuduh
Keempat, reuduh. Senjata tradisional Aceh yang satu ini mirip dengan golok modern. Orang Aceh menyebut senjata tradisional tersebut dengan nama reuduh. Reuduh adalah senjata jarak dekat yang ringan digunakan karena memiliki bentuk fisik yang ramping dan tipis.
Selanjutnya, jika kamu mengamati secara lebih cermat, gagang reuduh ini memiliki motif yang unik. Motif tersebut tentu saja bukan diciptakan sembarangan. Adapun tujuan digunakannya motif pada gagang senjata yaitu untuk menambah kenyamanan si pengguna senjata. Selain itu, gagang yang berbentuk melengkung tentunya tidak akan mudah lepas jika digenggam.

Meucugek
Kelima, Meucugek. Meucugek adalah senjata tradisional Aceh yang patut kamu ketahui selanjutnya. Memiliki bentuk yang kecil dan ramping, membuat senjata ini sangat pas jika digunakan untuk bertarung. Meucugek adalah senjata yang oleh para pejuang Aceh juga digunakan untuk menikam. Dengan kata lain, kamu tidak boleh memandang sebelah mata senjata kecil ini, ya.

Lebih jauh lagi, senjata meucugek terbuat dari bahan yang sangat tajam, baik itu baja maupun besi. Kamu bisa menyimak gambar di atas jika ingin melihat seberapa ketajaman si kecil mengerikan ini, ya. Sebagai tambahan, gagang meucugek yang tebal akan membuat tangan si pemakai semakin kencang dalam menggenggamnya. Hebat bukan? Jadi, jangan coba-coba untuk bermain sembarangan dengan senjata kecil ini ya.

Peudeung Tumpang Jingki
Keenam, peudeung tumpang jingki. Senjata tradisional Aceh yang memiliki keunikan berupa gagang pedang yang terbuka ini bernama peudeung tumpang jingki. Peudeung tumpang jingki adalah senjata jarak dekat yang terbuat dari baja dengan campuran warna hitam. Hasilnya adalah pedang yang tajam, padat, serta tebal.
Desain pedang memang terlihat simpel. Namun jangan salah, senjata tradisional Aceh ini memiliki manfaat dan perubahan yang berarti jika digunakan dalam pertempuran. Pedang yang besar dan tebal tentu tidak akan goyah ketika berhadapan dengan pedang lain yang berukuran lebih tipis.

Rencong Meukuree
Ketujuh, rencong meukuree. Rencong meukuree adalah salah satu jenis senjata tradisional Aceh yang memiliki ciri khas motif berupa motif hiasan pada mata rencong. Hiasan tersebut berupa gambar-gambar hewan seperti ular, lipan, dan sebagainya. Maka dari itu, jenis rencong ini termasuk ke dalam salah satu hasil kebudayaan yang bernilai seni tinggi.
Begitulah ulasan mengenai tujuh senjata tradisional Aceh. Aceh memang dikenal karena masyarakatnya yang masih mempercayai keistimewaan dari senjata tradisionalnya. Oleh sebab itu, tak heran jika Aceh dikenal dengan julukan Tanah Rencong. Bagaimanapun, setelah mengetahui penjelasan mengenai tujuh senjata dari Tanah Rencong di atas, kamu pasti bisa menambah wawasan mengenai keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
Jangan pernah berhenti mencari tahu mengenai budaya, ya. Karena budaya menunjukkan identitas dan kekayaan suatu bangsa.