![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh88Fi0nGfkGXs0AF9B0Y7t1WbaEg8Obj1lrIB5XJk2ZV7Ta-RHE_WTJIEYl7H9Fwdhdoxh5QEAYVNT2gsYu00z8etosqk8q-q9FdbgCx7oLzqNdbxoDzapdNt0EcErylz4ME3Yn9BLtc44/w300-h400/Keris+Siginjai.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4li0a0JdurRTH9jGZ1oe9vg2nAdXcim3vVyjq8ER4D8km0GYNev3LlekEdckSU-2Ve3RW1zicZdDIlJC33QFk6XBgsKK90jkQyBYo4vRc0eCvMBGkoc3o-BsyLRAo_z1R_NzKTD335SK5/w400-h229/Kesultanan+Aceh.jpg)
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBnOsmzs2HrCUIDgclWSYDxiWMS4ltStRUiriJoOYtzhqY1nw1rHfPUwGHxAjxuA_EyQTtmHLuPdDFESNkdZqaAE9_GgfGjbneDapRslvQ6hU5bm1s9nSgQDWQK4Wdyzzg1HjD723fM8DY/w400-h265/upacara-upacara+kebesaran.jpg)
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia , sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudi, dan keris . Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Budha", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal Keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Budha dan keris Sajen. Keris Sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
Bahan, pembuatan, dan perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nom-noman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuno) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Jawa, satu diantaranya yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut Saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut Kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7VMkJXZcq2ACRIOI97Dc8nCvCuLpJXko69VGDFvFQJF__ieeP872czXe5M4fe9_9GhPdY82b4nhKUAeLsMRnZ2zRb5b-KoUYSlv1g0qS_QC8sU59WCxccVXQ7jsCqKASBYHpQ7Y3LST2U/w400-h266/pembuatan+keris.jpg)
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura disebut Jamasan , meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.