Oleh karena itu, benda ini dianggap sakral dan keramat yang diselimuti mitos & legenda penciptaannya, tokoh yang memerankannya, kekuatan magisnya dan sekaligus sebagai atribut yang melegitimasi seseorang sebagai Sultan Jambi.
Sebagai benda Bersejarah, Keris si Ginjei memiliki bilah yang dibuat dari besi berhiaskan emas daun bermotif sulur daun dengan panjang 39 cm dan ber-luk 5. Hulu keris yang dibuat dari kayu berukir berbentuk Binatang duduk dengan tangan membelit badan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjV68vxQzWOzThRwGsJ_XetEzacmRXmIv20A-0c9htSwhhbZzijLm2sNIly1t-PUY1RGYQhyphenhyphenys87LKs6HcYzdhZ3HWClJkCK4tddzhGe718apnixmA76alDaWQnaMxKAKgcDi57uJneX0Zf/w400-h275/Keris+Jambi.jpg)
Legenda tertulis yang menyelimuti keris si Ginjei ini dapat dijumpai dalam beberapa naskah, antara lain: 1). Hal Perkara Kerajaan Jambi (Naskah A); 2) Legenden van Djambi(Naskah B); dan 3) Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi (Naskah C).
Ketiga naskah tersebut dalam bentuk penerbitan, seperti buku atau bagian dari isi majalah. Selain pada naskah, legenda tentang keris si Ginjei juga beredar lisan di masyarakat dalam berbagai versi yang satu di antaranya menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk5h6oqvdDUIQXVYl_QtRTMfgRI-UImgZ0IfYC70UdUVbvWuum_3_hyWaD-AsxjgzfK1FzzISd9pOXnVhesmloXGuGCZrTHRj0XeiEOsjQNEPmbrwVATfIcgYbp4nCnZ42p8Tf7fuzoW2H/w400-h400/Keris+Jambi+bertuah.png)
Akhirnya lahirlah sang putra, dan kelahirannya diramalkan bahwa si anak akan membunuh bapaknya. Oleh Toean Telanai anak ini dibuang ke laut dalam peti dengan secarik surat yang menyatakan bahwa bayi tersebut adalah putra Raja Jambi. Bayi itu ditemukan dan dipungut oleh Raja Siam dan dirawat hingga dewasa.
Setelah dewasa dia mencari orang tuanya ke Jambi, dan akhirnya ramalan menjadi kenyataan, Toean Telanai dibunuh oleh anaknya. Kemudian negeri Jambi ditinggalkan rakyatnya sehingga menjadi hutan belantara.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJeIeW8vV0ahpq169alrFV0QKwjGDuxVjKMPwdmNro3-us0qm9CY6H4hNUNif3f00BOw5L9YhMBp0XpsAfPAJobe3b2mjzQUD0LH5ZqNmTwDb2iuhzRRP0xkvwx2crfdLbA2LvBbesqpki/w400-h400/Raja+Siam.jpg)
Selanjutnya mengenai kisah Jambi berajakan Si Pahit Lidah, dan tatkala mati Raja Si Pahit Lidah maka ini Jambi tidak beraja lagi; orang kerajaan yaitu priyayi Tujuh Koto Sunan Pulau Johor; kisah Orang Kayo Hitam kepada tarikh 737 tahun; utan tanah Simpang namanya dan yaitu tanah bahagian namanya; dan peri menyatakan Sultan Ahmad Zainuddin bin Sultan Sri Maharaja Batu.
Pada menit-menit terakhir sultan baru diperlihatkan pada orang-orang yang berkumpul. Kepala Suku Kedipan saat itu menembakan meriam Si Jimat, sedangkan Kepala Suku Perban membunyikan gong Sitimang Jambi sambil berseru: “Dengarkan semua rakyat Kerajaan Jambi yang terdiri dari VII Koto, IX Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Maro Sebo, Pucuk Jambi, dan IX Lurah, inilah raja kita”. Penduduk yang berkumpul menyambutnya dengan meriah.
Kemudian keris pusaka kerajaan Si Ginjei disisipkan di ikat pinggang raja baru oleh ‘Raja Sehari’ sambil mengucapkan: “Adik, engkau telah diangkat menjadi raja. Seluruh tanah, air, dan rakyat yang hidup itu dipercayakan dalam pemeliharaan dan lindunganmu”. Lalu “Raja Sehari” menyatakan hormatnya pada Sultan, diikuti pula oleh para kepala anggota berbagai suku, para menteri, dan mereka yang menghadiri pelantikan”. Legenda lisan tentang keris si Ginjei menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib seiring tewasnya Sultan Thaha Syaifuddin.
Sultan Thaha Saifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang diakui masyarakat Jambi. Sultan Thaha Saifuddin gugur pada tanggal 26 April 1904 di Betung Berdarah, Kabupaten Tebo saat disergap tentara kolonial Belanda.
Sejak bulan November 1904 Keris Si Ginjei menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 10921 (E 263). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) melalui Gubermenten Besluit No. 7, 14 Agustus 1904.
Budi Prihatna merupakan museolog dan bekerja di Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Artikel ini merupakan bagian dari tesisnya mengenai Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Bila menilik kata pendahuluan buku tersebut, Naskah C dihimpun sekitar tahun 1905, yaitu setelah Jambi menjadi daerah administrasi Hindia Belanda.
Naskah A terdiri dari 29 halaman yang diawali dengan: “asalnya negeri Jambi tidak beraja, rajanya di Mataram, mengantarkan hasil 2½ tahun ke Mataram”.