Search This Blog

Saturday, June 12, 2021

Sejarah Si Ginjei Nama Keris

Si Ginjei merupakan nama sebilah keris pusaka Kesultanan Jambi yang disandang turun-temurun oleh para Sultan Jambi. Sebagai pusaka, Kesultanan Jambi ini memiliki nilai material dan estetika yang tinggi, silsilah, keagamaan, dan persekutuan dengan mahluk.

Oleh karena itu, benda ini dianggap sakral dan keramat yang diselimuti mitos & legenda penciptaannya, tokoh yang memerankannya, kekuatan magisnya dan sekaligus sebagai atribut yang melegitimasi seseorang sebagai Sultan Jambi.

Sebagai benda Bersejarah, Keris si Ginjei memiliki bilah yang dibuat dari besi berhiaskan emas daun bermotif sulur daun dengan panjang 39 cm dan ber-luk 5. Hulu keris yang dibuat dari kayu berukir berbentuk Binatang duduk dengan tangan membelit badan.

Selut dihiasi permata berjumlah 16 buah berukuran besar dan kecil yang masing-masing berjumlah 8 buah. Kedelapan permata besar . Keseluruhan permata tersebut diperkuat emas berbentuk persegi dan oval. Sarung keris (warangka) dibuat dari kayu yang dilapisi emas yang di bagian depannya diperkaya hiasan motif sulur daun, sedangkan bagian belakangnya polos.
Legenda tertulis yang menyelimuti keris si Ginjei ini dapat dijumpai dalam beberapa naskah, antara lain: 1). Hal Perkara Kerajaan Jambi (Naskah A); 2) Legenden van Djambi(Naskah B); dan 3) Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi (Naskah C).

Ketiga naskah tersebut dalam bentuk penerbitan, seperti buku atau bagian dari isi majalah. Selain pada naskah, legenda tentang keris si Ginjei juga beredar lisan di masyarakat dalam berbagai versi yang satu di antaranya menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib.

Isi selanjutnya lebih banyak menceritakan Orang Kayo Hitam berpetualang di Mataram dan mendapatkan keris si Ginjei yang pembuatannya sangat pelik guna membunuh Orang Kayo Hitam. Orang Kayo Hitam akhirnya diangkat menantu oleh Raja Mataram karena tidak berhasil dibunuh oleh Raja Mataram. Naskah diakhiri hilangnya keris Si Ginjei di Teluk Air Dingin, tapi berkat bantuan Pak Sulung keris dapat ditemukan kembali.  Toean Telanai sebagai raja pertama yang berkuasa di Jambi. Dia sangat mendambakan seorang putra, tetapi dambaannya ini sangat sulit. 

Akhirnya lahirlah sang putra, dan kelahirannya diramalkan bahwa si anak akan membunuh bapaknya. Oleh Toean Telanai anak ini dibuang ke laut dalam peti dengan secarik surat yang menyatakan bahwa bayi tersebut adalah putra Raja Jambi. Bayi itu ditemukan dan dipungut oleh Raja Siam dan dirawat hingga dewasa.

Setelah dewasa dia mencari orang tuanya ke Jambi, dan akhirnya ramalan menjadi kenyataan, Toean Telanai dibunuh oleh anaknya. Kemudian negeri Jambi ditinggalkan rakyatnya sehingga menjadi hutan belantara.

Pada bab 2 kisah dimulai dengan kedatangan Datuk Paduka Berhalo dari Turki dan menetap di Pulau Berhala. Setelah berputra Datuk Paduka Ningsum, dia meninggal dunia (Versi lainnya menceritakan bahwa Orang Kayo Hitam bukan cucu Datuk Paduka Berhalo, tetapi anak Datuk Paduka Berhalo, seperti yang diuraikan pada Naskah A dan C).

Cucu Datuk Paduka Berhalo adalah Orang Kayo Hitam yang mengamuk di Mataram. Selanjutnya diceritakan tentang pembagian wilayah, pimpinannya, dan pangkatnya di Kerajaan Jambi. Kisah ini ditutup dengan berkuasanya Sultan Ratu Abdul Rahman Nazaruddin.
 
Masih dalam sila yang sama, memuat salinan piagam utan tanah Sengketi Besar pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas; kisah Raja Empat Puluh di Jambi asalnya dari Keraton sebab mendurhaka kepada Sultan; Jambi berajakan Dewa Sekarabah namanya keturunan dari megat-megatan.
Selanjutnya mengenai kisah Jambi berajakan Si Pahit Lidah, dan tatkala mati Raja Si Pahit Lidah maka ini Jambi tidak beraja lagi; orang kerajaan yaitu priyayi Tujuh Koto Sunan Pulau Johor; kisah Orang Kayo Hitam kepada tarikh 737 tahun; utan tanah Simpang namanya dan yaitu tanah bahagian namanya; dan peri menyatakan Sultan Ahmad Zainuddin bin Sultan Sri Maharaja Batu.
Untuk memperkirakan kapan cerita ini diedarkan, tentunya harus membandingkan dengan peristiwa sejarah yang tercatat. Peristiwa dan bukti-bukti sejarah Jambi diperkirakan cerita tersebut dikembangkan sekitar tahun 1663 dengan dasar bahwa dari ketiga naskah tersebut menyatakan bahwa Jambi sebelum Orang Kayo Hitam berkuasa secara teratur mengirim upeti ke Mataram, Naskah C menyebut upeti tersebut sebagai pekasam pacat dan pekasam keluang ke Mataram.

Dalam peristiwa sejarah, Jambi memutuskan hubungan dengan Mataram, baik sebagai vasal maupun ideologi politik sekitar tahun 1663. Peristiwa tersebut dipaparkan oleh de Graaf (1987: 75) sebagai berikut: “Pada tanggal 17 Mei 1663 datanglah dari Jambi tanpa dipanggil Kepala Kompeni Evert Michielsen ke Batavia atas permintaan dan sebagai utusan Pangeran Ratu Jambi dengan membawa berita penting. Antara lain dia harus mengemukakan kepada Pemerintah Batavia tentang pemisahan Sri Baginda (Jambi) dari Istana Mataram (Daghregister).
Selain itu, muncul pula dua utusan Jambi, yaitu Kiai Demang Nayariadiwangsa, putra Temenggung Suryanata, penasehat utama Temenggung, dan seorang lagi Kiai Ngebei. Mereka berdua dengan hikmat bukan saja menyampaikan berita tentang raja muda yang naik tahta, tetapi juga menyatakan hasrat untuk memisahkan diri dari Mataram dan melakukan hubungan yang lebih dekat dengan Kompeni. Jadi raja yang muda itu telah memegang tampuk pemerintahan, tetapi belum berpengalaman. Ia sudah bertekad bulat untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Mataram atau kerajaannya, dan akan melakukan politik mendekati Kompeni”. Secara tegas Pangeran Ratu menyatakan: “ingin berkuasa sebagai raja, bukan sebagai vazal, kalau tidak … lebih baik turun saja”. Pernyataan ini dicatat dalam Daghregister, 5 April 1663.

Selanjutnya, Pangeran Ratu berkata dengan marah: “Para leluhur kami adalah raja-raja yang berdaulat, mengapa kami tidak?” (de Graaf, 1987: 74). Mengenai prosesi pengangkatan raja baru Haga (1929: 234) memaparkan sebagai berikut: “Pada hari yang telah ditentukan, lurah dari Jebus (satu di antara Bangsa XII) diangkat sebagai Raja Jambi – ‘Raja Sehari’ – yang berlaku dari pagi hari hingga pukul 5 sore.

Pada menit-menit terakhir sultan baru diperlihatkan pada orang-orang yang berkumpul. Kepala Suku Kedipan saat itu menembakan meriam Si Jimat, sedangkan Kepala Suku Perban membunyikan gong Sitimang Jambi sambil berseru: “Dengarkan semua rakyat Kerajaan Jambi yang terdiri dari VII Koto, IX Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Maro Sebo, Pucuk Jambi, dan IX Lurah, inilah raja kita”. Penduduk yang berkumpul menyambutnya dengan meriah.

Kemudian keris pusaka kerajaan Si Ginjei disisipkan di ikat pinggang raja baru oleh ‘Raja Sehari’ sambil mengucapkan: “Adik, engkau telah diangkat menjadi raja. Seluruh tanah, air, dan rakyat yang hidup itu dipercayakan dalam pemeliharaan dan lindunganmu”. Lalu “Raja Sehari” menyatakan hormatnya pada Sultan, diikuti pula oleh para kepala anggota berbagai suku, para menteri, dan mereka yang menghadiri pelantikan”. Legenda lisan tentang keris si Ginjei menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib seiring tewasnya Sultan Thaha Syaifuddin.

Versi lainnya menceritakan bahwa keris tersebut berada dalam perut ikan tapa besar yang bersembunyi di Sungai Batanghari di muka rumah dinas Gubernur Jambi. Sebelum diserahkan oleh Pangeran Prabu Negara ke Pemerintah Hindia Belanda, keris Si Ginjei dikuasai Sultan Thaha Syaifuddin.

Sultan Thaha Saifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang diakui masyarakat Jambi. Sultan Thaha Saifuddin gugur pada tanggal 26 April 1904 di Betung Berdarah, Kabupaten Tebo saat disergap tentara kolonial Belanda.

Sejak bulan November 1904 Keris Si Ginjei menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 10921 (E 263). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) melalui Gubermenten Besluit No. 7, 14 Agustus 1904.

Budi Prihatna merupakan museolog dan bekerja di Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Artikel ini merupakan bagian dari tesisnya mengenai Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Naskah A ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Jambi yang diterbitkan dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG) XLVIII tahun 1906. Naskah B yang ditulis aksara Melayu diterbitkan dalam Tijdschrift Nederlandsch Indie (TNI) 8 tahun 1846, sedangkan Naskah C ditulis dalam aksara pegon yang dialihbahasakan dan diterbitkan tahun 2005 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi. Naskah A dihimpun oleh kontrolir R.C van den Bor pada tahun 1905 dan diterbitkan tahun 1906 dalam TBG XLVIII. Naskah B dihimpun oleh Residen Palembang A.H.W. de Kock tahun 1843 dan dipublikasikan tahun 1846 dalamTNI 8. Adapun naskah C dihimpun oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Perisai Rajo Sari.
Bila menilik kata pendahuluan buku tersebut, Naskah C dihimpun sekitar tahun 1905, yaitu setelah Jambi menjadi daerah administrasi Hindia Belanda.
Naskah A terdiri dari 29 halaman yang diawali dengan: “asalnya negeri Jambi tidak beraja, rajanya di Mataram, mengantarkan hasil 2½ tahun ke Mataram”.

Saturday, June 5, 2021

Keris Kalawijen

Keris Kalawijen adalah keris diatas Luk 13 dimulai dari Luk 15 , termasuk Jenis keris khusus yang sangat jarang dimiliki oleh Seseorang.
Keris ber-luk Kalawijen terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keduniawiannya sudah sempurna, sudah cukup, sudah tidak lagi mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni hidup kerohanian. Keris Kalawijen dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Seseorang yang sudah matang dalam usia dan psikologis dan yang sudah mandito.





Nama-nama Keris Luk 15

Keris Kalawijen adalah keris diatas Luk 13 dimulai dari Luk 15 , termasuk Jenis keris khusus yang sangat jarang dimiliki oleh Seseorang.
Keris ber-luk Kalawijen terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keduniawiannya sudah sempurna, sudah cukup, sudah tidak lagi mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni hidup kerohanian. Keris Kalawijen dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Seseorang yang sudah matang dalam usia dan psikologis dan yang sudah mandito.



Nama-nama Keris Luk 13

Keris ber-luk 13 dimaksudkan dengan Kesaktian Wibawa Kekuasaannya,keris ini menjadi penangkal kesialan atau tolak bala. Keris ber-luk 13 biasanya dibuat untuk tujuan Kesaktian dan Wibawa kekuasaan.
Satu diantaranya Keris ber-luk 13 yang terkenal adalah keris Nagasasra yang bersifat penguasa, pengayom dan pelindung. Aura wibawa keris ini sangat kuat. Aura wibawanya menunjang kewibawaan pemiliknya supaya dicintai banyak orang dan wataknya sebagai pengayom dan pelindung akan selalu melindungi orang-orang yang berlindung kepadanya. 
Keris terakhir yg masih memikirkan hal kedunian yaitu Keris Ber Luk 13.




Nama-nama Keris Luk 11

Keris ber Luk 11 , Bertuah sebagai mendongkrak kemapanan, melambangkan simbul Kekayan yg berlebih Kemapanan Pada pemiliknya dari jaman dulu hingga saat ini filosopi tersebut tidak berubah, Keris ini sangat cocok utk mereka yang masih ingin mengejar Kedunianan/kekayaan. seperti keris ( Keris Luk 3 Jinangkung/Jangkung keinginan ) hanya tingkatannya berbeda. sebelum memiliki keris ini sebaiknya memiliki keris Luk 3 terlebih dahulu.




Nama-nama Keris Luk 9

Keris ber Luk 9 ditujukan untuk orang-orang yang sudah tidak lagi mengejar keduniawian tingkatannya Masih dibawah Kalawijen, sudah lebih menekuni kerohanian. Keris-keris ber-luk 9 dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian dan kesepuhan. Dikhususkan untuk dimiliki oleh para Pengajar , pandita atau panembahan dan para sesepuh masyarakat.
Selain memberikan tuah keselamatan, kerohanian, keilmuan dan perbawa kesepuhan, jenis keris ini biasanya mengeluarkan hawa aura yang sejuk.




Nama-nama Keris Luk 7

Keris ber-luk 7 terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keilmuannya sudah sempurna, sudah cukup, Tetapi Masih mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni mendalami Keilmuan . Keris ber-luk 7 dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Guru atau keluarga raja yang sudah matang dalam keilmuan dan psikologis selain itu digunakan untuk para tokoh kesepuhan di masyarakat.
 



Nama-nama Keris Luk 5

Keris ber-luk 5 dibuat untuk tujuan memberikan tuah yang menunjang wibawa kekuasaan dan supaya pemiliknya dicintai / dihormati banyak orang. Keris-keris jenis ini diciptakan untuk menjaga wibawa dan karisma keagungan kebangsawanan / keningratan, dihormati dan dicintai rakyat / bawahan, dan menyediakan kesaktian yang diperlukan untuk menjaga wibawa kebangsawanan .

Selain keris-keris ber luk 5, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah pusaka-pusaka yang dulu menjadi lambang kebesaran sebuah kerajaan / kadipaten / kabupaten, yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja, adipati, dan bupati jaman dulu atau keturunan mereka yang masih membawa sifat-sifat dan derajat leluhurnya itu. Selain itu, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah keris-keris berdapur Nagasasra yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja dan anggota keluarga raja saja, dan keris-keris berdapur Singa Barong untuk kelas di bawahnya, yaitu untuk adipati / bupati dan keluarganya.




Nama-nama Keris Luk 3

Makna spiritual dalam pembuatan keris ber-luk 3, yaitu sebagai lambang kedekatan manusia dengan Sang Pencipta, dan juga sebagai sarana membantu mempercepat tercapainya keinginan-keinginan sang pemilik keris.

Memiliki makna sebagai sarana untuk membantu pemiliknya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dan membantu supaya keinginan-keinginan si pemilik keris dapat lebih cepat tercapai, misalnya keinginan dalam hal kekuasaan, kepangkatan dan derajat.

Merupakan lambang harapan dan karunia kesejahteraan, kemakmuran dan kemuliaan. Dibandingkan keris lurus, keris ber-luk 3 lebih menandakan kekuatan hasrat duniawi manusia yang ingin dicapai.

Keris ber-luk 3 lebih menonjolkan keseimbangan antara kehidupan kerohanian dan duniawi manusia, keseimbangan antara sisi spiritual dan jasmani, kemapanan duniawi dan batin dalam menjalani kehidupan di dunia.





Friday, June 4, 2021

Nama-nama Keris Lurus

Jenis keris lurus mengandung sisi spiritual dalam pembuatannya sebagai lambang kelurusan hati, kepercayaan diri dan mental yang kuat, keteguhan hati pada tujuan dan sarana pemujaan kepada Sang Pencipta. Sesuai sifat kerisnya itu, si pemilik keris diharapkan selalu menjaga kelurusan dan keteguhan hati, tekun beribadah, menjaga moral dan budi pekerti dan sikap ksatria.
Keris lurus juga diidentikkan sebagai lambang ksatria, ketulusan hati dan sikap setia pada tanggung jawab, dan menjadi sarana doa untuk menundukkan keilmuan orang-orang jahat, untuk membela kebenaran dan orang-orang yang tertindas. Banyak ksatria jaman dulu yang lebih memilih keris lurus daripada keris ber-luk.

Dalam ritual-ritual pemujaan, selain si pemilik beribadah kepada Yang Maha Kuasa, keris itupun diberi sesaji dan doa sebagai sarana menyatukan kebatinan, menjadi satu kesatuan kebatinan supaya doa-doa sang pemilik keris, bersama kerisnya, dapat sampai kepada Yang Dipuja. Bagi pemiliknya, keris lurus berguna, selain sebagai senjata dan pusaka, juga menjadi sarana untuk membantu dalam kerohanian.











Perkembangan Keris

Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.
Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara tradisonal atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk yang berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai Keris Sesaji atau Keris Sajen.
Keris sebagai senjata yang memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram Palembang Sumatra mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabuk Inten & Keris Siginjai.
Laporan Prancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatra (khususnya Kesultanan Aceh). Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah memberikan racun (Mudah hilang jika Dibersihkan) pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata.
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.

Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Sumatra keris menjadi identitas kemelayuan. 

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran. 


Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia , sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudi, dan keris . Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Budha", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal Keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Budha dan keris Sajen. Keris Sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Bahan, pembuatan, dan perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nom-noman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuno) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Jawa, satu diantaranya yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut Saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut Kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.

 
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi. 
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris menjadi tidak baik.

Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura disebut Jamasan , meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.