Search This Blog

Saturday, May 29, 2021

Keris Palembang

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan Keris adalah Badik,Kujang ,Rencong, Senjata tikam lain asli Nusantara ada kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan Jarak Dekat , sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa,Bali,Madura,NusaTenggara,Sumatra,Kalimantan,Sulawesi,Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Keris Palembang dikatagorikan sebagai keris Melayu. Pengamat sejarah kota Palembang, Kms. H.Andi Syarifuddin menjelaskan Keris Palembang dikenal ampuh, anggun dan berdaya magis sejak zaman bahari, Kedatuan Sriwijaya. Meski terlihat sederhana, keris Palembang mempunyai ciri khas dan kharisma tersendiri. Secara garis besar bagian utama keris terdiri dari: Bilah keris dan ganja. Ragam Ukuran keris Palembang bervarian: kecil, sedang, dan panjang. Terbuat dari bahan 3 unsur logam: besi, baja, dan pamor.
Salahsatu juga karakteristik keris Palembang menurutnya, yang unik adalah sarung keris (warangka) yg melambangkan sebuah kerajaan bahari atau maritim yaitu Bidar Palembang atau badan kapal.
Jaman Kesultanan Palembang, keris Palembang diproduksi di lingkungan guguk Kepandean tidak jauh dari keraton (18 Ilir).
Para Empu terkenal pembuat keris pada masa itu antara lain:
1. Pangeran Sido ing Kenayan (era Kerajaan Palembang).
2. Kiagus Empu (era Kesultanan Palembang).
3. Empu Kgs. Abdullah (akhir Kesultanan).
4. Empu Akim (sampai tahub 1914, era kolonial).
5. Empu Anang, dll

“Keris Puyang Palembang yg terkenal yaitu, keris Ki. Kala Cangak (milik Ario Dilah, Raden Fatah, dll),” katanya.
Sedangkan keris Pusaka Palembang yaitu keris picitan (buatan Pangeran Sido ing Kenayan, dan sepuhan Ratu Senuhun). Selain itu Keris Pusaka Sultan Palembang dikenal dg Keris Carito.
Fungsi Keris Palembang:
– sebagai simbol adat.
– Perlengkapan upacara Perkawinan.
– Upacara kebesaran.
– Senjata Pusaka.
– Simbol Legitimasi.
– Kehormatan dan harga diri pria (bangsawan).
– Senjata Perang.
– Pakaian Adat Palembang.
– Senjata Tradisional Pencak Silat.
– dll.

Senjata Tradisional Aceh

Aceh adalah daerah yang memiliki banyak sejarah dan warisan kebudayaan yang penuh akan keunikan. Seperti yang kita ketahui, bagian barat dari NKRI sangat kental hubungannya dengan kebudayaan rumpun Melayu. Di samping itu apakah kamu tahu bahwa masyarakat Aceh juga dikenal masih sangat berprinsip dalam memegang teguh ajaran agama Islam serta tidak melupakan nilai-nilai kearifan lokal berupa adat istiadat dan budaya nenek moyangnya?
 
Rencong
Pertama, senjata tradisional yang sangat terkenal dari Aceh yaitu rencong. Rencong adalah senjata tradisional Aceh yang memiliki makna lebih dari sekadar benda tajam untuk alat pertahanan diri menghadapi musuh atau hewan buas di kala berburu di hutan. Bagi orang Aceh, rencong dianggap sebagai sebuah keagungan. Rencong merupakan martabat. Rencong melandasi semangat orang Aceh. Serta rencong adalah benda yang tidak luput akan makna dan falsafah hidup masyarakat Aceh.

Jika dilihat secara bentuknya, rencong berbentuk seperti pedang namun dengan ukuran yang lebih kecil. Juga seperti pisau, namun lebih besar.

Sekilas, senjata tradisional Aceh ini terlihat runcing pada bagian ujungnya, serta memiliki semacam lengkungan di pangkal atau gagangnya. Pada zaman dahulu, para petinggi dan orang-orang terpandang di daerah Aceh memiliki rencong dengan gagang yang terbuat dari bahan tanduk, gading gajah, dan bahkan emas sekalipun. Jadi, keagungan rencong memang sudah dipercayai memiliki efek dan kredibilitas bagi pemiliknya.
Selanjutnya, rencong memiliki variasi antara 10 sampai dengan 50 cm jika diukur dari bagian tajam hingga pangkalnya. Bagian tajam (ujung rencong) ini memiliki sarung yang diciptakan untuk melindungi si pemakai ketika si pemakai menyelipkannya di bagian depan perut.
Bagi masyarakat Aceh, rencong memiliki makna perjuangan, keberanian, serta kepahlawanan. Hal tersebut berangkat dari sejarah ketika era penjajahan kolonial Belanda di mana setiap orang Aceh baik pria maupun wanita pasti menyelipkan rencongnya ketika berangkat berperang.
Meskipun era peperangan melawan penjajah telah berlalu, pemaknaan terhadap senjata rencong ini masih dipercaya oleh masyarakat Aceh. Rencong hingga kini masih dimaknai sebagai simbol dari keberanian, kekuatan, serta ketangguhan yang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

Siwah
Kedua, senjata tradisional Aceh yang memiliki keindahan ragam budaya selanjutnya yakni siwah. Siwah adalah benda tajam yang tidak jauh berbeda secara fisik maupun peruntukkannya dengan rencong. Dengan wujud fisik yang ramping serta tajam pada bagian ujungnya, tentu kamu dapat mengetahui kalau senjata ini memang digunakan untuk melakukan penyerangan.
Lalu, apa yang membedakannya dengan rencong?
Jawabannya yaitu tingkat kelangkaan yang dimiliki siwah. Jika rencong bisa digunakan oleh semua orang, siwah hanya dikhususkan untuk dijadikan perlengkapan dari raja-raja pada zaman dahulu. Oleh sebab itu, terdapat hiasan-hiasan sebagai ornamen seperti butiran permata, emas, maupun benda-benda mewah lain yang menambah tampilan siwah ini menjadi semakin terlihat mewah dan spesial.
Di era modern ini, sulit untuk menemukan senjata siwah karena memang mustahil untuk mendapati orang yang mampu membuat senjata tradisional Aceh ini.
Kesimpulannya yaitu kamu tidak boleh mengesampingkan kehadiran siwah sebagai warisan luhur budaya nenek moyang, ya. Dengan kata lain, kita tetap harus menjaga dan melestarikan atau setidaknya tahu mengenai senjata yang sangat spesial ini.

Peudeung
Ketiga, peudeung. Pedang mungkin menjadi senjata pertama yang hadir di benak kamu ketika melihat senjata tradisional Aceh yang bernama peudeung ini. Peudeung adalah senjata jarak dekat yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk berperang. Secara panjang senjata, peudeung berukuran lebih panjang jika dibandingkan dengan rencong dan juga siwah.
Berdasarkan sejarah yang ada, para pejuang Aceh pada zaman dahulu menggunakan peudeung ini sebagai pasangan dari rencong. Rencong digunakan untuk menikam lawan, sementara peudeung ini digunakan untuk menebas dalam pertempuran jarak dekat.

Reuduh
Keempat, reuduh. Senjata tradisional Aceh yang satu ini mirip dengan golok modern. Orang Aceh menyebut senjata tradisional tersebut dengan nama reuduh. Reuduh adalah senjata jarak dekat yang ringan digunakan karena memiliki bentuk fisik yang ramping dan tipis.
Selanjutnya, jika kamu mengamati secara lebih cermat, gagang reuduh ini memiliki motif yang unik. Motif tersebut tentu saja bukan diciptakan sembarangan. Adapun tujuan digunakannya motif pada gagang senjata yaitu untuk menambah kenyamanan si pengguna senjata. Selain itu, gagang yang berbentuk melengkung tentunya tidak akan mudah lepas jika digenggam.

Meucugek
Kelima, Meucugek. Meucugek adalah senjata tradisional Aceh yang patut kamu ketahui selanjutnya. Memiliki bentuk yang kecil dan ramping, membuat senjata ini sangat pas jika digunakan untuk bertarung. Meucugek adalah senjata yang oleh para pejuang Aceh juga digunakan untuk menikam. Dengan kata lain, kamu tidak boleh memandang sebelah mata senjata kecil ini, ya.

Lebih jauh lagi, senjata meucugek terbuat dari bahan yang sangat tajam, baik itu baja maupun besi. Kamu bisa menyimak gambar di atas jika ingin melihat seberapa ketajaman si kecil mengerikan ini, ya. Sebagai tambahan, gagang meucugek yang tebal akan membuat tangan si pemakai semakin kencang dalam menggenggamnya. Hebat bukan? Jadi, jangan coba-coba untuk bermain sembarangan dengan senjata kecil ini ya.

Peudeung Tumpang Jingki
Keenam, peudeung tumpang jingki. Senjata tradisional Aceh yang memiliki keunikan berupa gagang pedang yang terbuka ini bernama peudeung tumpang jingki. Peudeung tumpang jingki adalah senjata jarak dekat yang terbuat dari baja dengan campuran warna hitam. Hasilnya adalah pedang yang tajam, padat, serta tebal.
Desain pedang memang terlihat simpel. Namun jangan salah, senjata tradisional Aceh ini memiliki manfaat dan perubahan yang berarti jika digunakan dalam pertempuran. Pedang yang besar dan tebal tentu tidak akan goyah ketika berhadapan dengan pedang lain yang berukuran lebih tipis.

Rencong Meukuree
Ketujuh, rencong meukuree. Rencong meukuree adalah salah satu jenis senjata tradisional Aceh yang memiliki ciri khas motif berupa motif hiasan pada mata rencong. Hiasan tersebut berupa gambar-gambar hewan seperti ular, lipan, dan sebagainya. Maka dari itu, jenis rencong ini termasuk ke dalam salah satu hasil kebudayaan yang bernilai seni tinggi.
Begitulah ulasan mengenai tujuh senjata tradisional Aceh. Aceh memang dikenal karena masyarakatnya yang masih mempercayai keistimewaan dari senjata tradisionalnya. Oleh sebab itu, tak heran jika Aceh dikenal dengan julukan Tanah Rencong. Bagaimanapun, setelah mengetahui penjelasan mengenai tujuh senjata dari Tanah Rencong di atas, kamu pasti bisa menambah wawasan mengenai keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
Jangan pernah berhenti mencari tahu mengenai budaya, ya. Karena budaya menunjukkan identitas dan kekayaan suatu bangsa.

Wednesday, May 19, 2021

Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebuah kerajaan melayu yang bercorak Islam di Sumatera bagian selatan. Sejarah berdirinya tidak terlepas dari kemelut politik pada Kesultanan Demak. Perang perbutan tahta Jawa yang terjadi antara 1549 -1586 pada akhirnya dimenangkan oleh Mataram. Hal ini menyebabkan runtuhnya Kerajaan Islam yang didirikan pada 1479 oleh Raden Patah. Pada 1586, Palembang sebagai satu satunya wilayah yang masih setia, jadi tempat pelarian para bangsawan Kesultanan Demak. Terdapat 15 Keluarga para pembesar Demak dari berbagai kota di pesisir utara jawa yang mengungsi ke Palembang.


Sultan terakhir Demak, Aria Pangiri (1582-1586) yang terusir mangkat di Banten Pada 1588. Cikal bakal Kesultanan Palembang didirikan oleh Kiyai Gede ing Suro. Ia bertindak seolah-olah adalah ‘Pemerintahan Demak dalam pengasingan’. Setelah mangkat ia disebut dengan gelar Pangeran Madi ing Angsoko (1588-1623). Pusat pemerintahan didirikan pada 1588 di sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang.

Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Muhammad (1585-1596), menganggap Kesultanan Demak sudah runtuh berusaha menyerang Palembang. Namun ia meninggal dunia di Palembang sewaktu mencoba menundukkan kawasan tersebut. Dengan memanfaatkan kemunduran Banten pada 1619, VOC menduduki Jayakarta dan merebutnya dari Banten. Akibat berbagai tekanan dari VOC, Sultan Abdul Mufakkir (1596-1651) yang masih dalam perwalian mengizinkan VOC membuat benteng di Sunda Kelapa. Pada 1622, VOC memindahkan pusat kegiatannya dari sebelumnya di Fort Amsterdam, Ambon Kepulauan Maluku ke Jayakarta. Kota Benteng ini kemudian diberi nama Batavia. Posisi VOC di Batavia bagi Banten cukup strategis, sebagai penghalang antara Negerinya dengan Mataram yang agresif.

Pada 1636 atas diplomasi Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Palembang dibawah Pangeran Seda ing Kenayan (1630-1642) setuju menjadikan wilayahnya sebagai ‘vassal’ dari Mataram. Keduanya merasa sama sama penerus Kesultanan Demak dan Palembang membutuhkan sekutu sebagai sebagai pelindungnya dari ancaman dari Banten dan VOC. Pada perkembangan selanjutnya di dibawah Sunan Amangkurat I (1645-1677) , Mataram malah bermesraan dengan VOC, sebaliknya Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) justru bermusuhan dengan Batavia.

Antara 1647-1659 terjadi perselisihan antara Palembang dengan VOC terkait hak monopoli perdagangan lada di Sungai Musi. Palembang harus menghadapinya sendiri ketika Negerinya diserang beberapa kali. Mataram yang seharusnya menjadi pelindung Palembang tidak melakukan apapun, malah membenarkan apa yg dilakukan VOC. Pada 1659 Keraton Kuto Gawang menjadi lautan api dan rata dengan tanah oleh serangan VOC. Pangeran Sido Ing Rejek (1652-1659) meloloskan diri. Ia mangkat di dusun Indralaya Saka Tiga. Setelah diperoleh kesepakatan, pilihan jatuh pada Kimas Hindi atau Pangeran Candiwalang adik dari Pangeran Sedo Ing Rejek sebagai penguasa Negeri Palembang selanjutnya.

Sang Pangeran mengukuhkan dirinya sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Khalifatul Mukmin Sayidul Iman. Namanya pun diubah menjadi Abdurrahman, sebuah nama yang paling disukai Rasulullah SAW. Melalui perubahan gelar ini, Pangeran Kimas Hindi tercatat sebagai pendiri Kesultanan Palembang Darussalam. Setelahnya tradisi dalam penggunaan nama raja-raja Negeri Palembang berubah dari Pangeran menjadi Sultan, sejajar dengan Sultan Mataram di Pulau Jawa. Keraton Palembang yang baru didirikan di Kuto Cerancangan, menggantikan Kuto Gawang yang terbakar pada perang tahun 1659. Di area Keraton ini didirikan juga dalem Beringin janggut berikut masjid yang saat ini tinggalan nama sejarahnya disebut Masjid Lamo.

Kimas Hindi berusaha untuk tetap memelihara Hubungan baik dengan Kesultanan Mataram di Pulau Jawa Namun hubungan tersebut mulai memburuk ketika Kimas Hindi merasakan sikap Mataram yang mulai berubah. Puncak keretakan dari hubungan Palembang dan Mataram ini bermula pada saat utusan Palembang yang dikirim menghadap Mataram tidak diterima secara layak. Sikap resmi Mataram ini menurut para ahli sejarah ada hubungannya dengan peristiwa di masa Pangeran Sido Ing Rejek. Kala itu setelah mengantar sang pangeran terjadi insiden terbantainya pasukan Mataram oleh Belanda . Saat kejadian itu penguasa Palembang dianggap tidak membantu, bahkan dituduh berpihak pada Batavia (VOC). Pada 1668, penguasa Palembang kembali mengirim utusan ke Jawa dengan membawa seekor gajah, beserta seperangkat kain mahal dan barang persembahan lain. Utusan resmi ini pun tidak pula diterima raja Mataram. Kimas Hindi menyimpulkan bahwa Mataram tidak perlu dihormati lagi.

Memperhatikan sikap politik Mataram, Kimas Hindi memutuskan tidak melihat manfaat keuntungan timbal balik dengan Mataram. Ki Mas Hindi mengambil keputusan, bahwa hubungan Ideologis-kultural sudah waktunya dihentikan. Palembang merupakan suatu kerajaan yang mandiri, dengan identitas sendiri. Seluruh tata cara dan kebiasaan berubah, keris, pakaian Jawa menjadi pakaian Melayu. Aksara Jawa diganti menjadi Aksara melayu (Pegon). Bahasa keraton yang masih menggunakan bahasa Jawa, namun untuk rakyatnya sendiri sudah menggunakan bahasa Melayu Palembang.

Sejak masa itu Palembang tidak pernah lagi mengirim undangan berikut Hadiah-Hadiah ke Jawa. Di sisi lain, hubungan dengan VOC di Batavia secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan. Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan sultan Abdurrahman itu juga cukup diperhitungkan di antara negreri negeri Melayu. Negeri-negeri tetangga beberapa kali meminta bantuan Palembang dalam menghadapi peperangan di wilayahnya.

Pada 1669, Palembang mengirimkan armada nya untuk membantu Kesultanan Johor dalam perang Johor-Jambi. Sebagai imbalannya hak oenguasaan atas Kepulauan Bangka-Belitung diserahkan Kepada Kesultuanan Palembang. Terhadap Mataram, walau hubungan atasan-bawahan dianggap sudah selesai, Palembang masih mengirimkan 10 buah kapal untuk membantu Mataram menghadapi Trunojoyo yang memberontak di tahun 1677 Walau demikian, mengingat Kesultanan yang baru didirikan ini masih dalam masa penataan, tidak semua permohonan tersebut dapat dikabulkan.

Kota Jambi

Sejarah
Kota Jambi berdiri pada tanggal 28 Mei 1401 dan dibentuk sebagai pemerintah daerah otonom kotamadya berdasarkan ketetapan Gubernur Sumatra nomor 103/1946, tanggal 17 Mei 1946. Kemudian ditingkatkan menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang nomor 9 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah. Kemudian kota Jambi resmi menjadi ibukota provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan Undang-undang nomor 61 tahun 1958.

Kota Jambi (Melayu: كوتا جمبي) adalah sebuah kota di Indonesia sekaligus merupakan Ibu Kota Provinsi Jambi, Indonesia. Kota Jambi dibelah oleh sungai yang bernama Batanghari, kedua kawasan tersebut terhubung oleh jembatan yang bernama jembatan Aur Duri. Kota Jambi memiliki luas sekitar 205,38 km² dengan penduduknya berjumlah 604.378 jiwa .

Lambang Kota Jambi berbentuk perisai dengan bagian yang meruncing di bawah dikelilingi tiga garis dengan warna bagian luar putih, tengah berwarna hijau, dan bagian luar berwarna putih. Garis hijau yang mengelilingi lambang pada bagian atas lebih lebar dan di dalamnya tercantum tulisan “Kota Jambi” yang melambangkan nama daerah dan diapit oleh dua bintang bersudut lima berwarna putih. Itu melambangkan kondisi kehidupan sosial masyarakat Jambi yang terdiri atas berbagai suku dan agama, memiliki keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa

Semboyan kota jambi adalah Tanah Pilih Pesako Betuah secara filosofi mengandung pengertian bahwa Kota Jambi sebagai pusat pemerintahan kota sekaligus sebagai pusat sosial, ekonomi, kebudayaan, mencerminkan jiwa masyarakatnya sebagai duta kesatuan baik individu, keluarga, dan kelompok maupun secara institusional yang lebih luas ; berpegang teguh dan terikat pada nilai – nilai adat istiadat dan hukum adat serta peraturan perundang – undangan yang berlaku.