Search This Blog

Friday, September 4, 2020

Maharaja Sriwijaya

 1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa
adalah Maharaja Sriwijaya pertama yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Ia berkuasa sekitar perempat terakhir abad VII hingga awal abad VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi hingga 702 masehi.

2. Sri Maharaja Indra Warmadewa atau Sri Indrawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Shih-li-t-'o-pa-mo . Munculnya nama Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman berdasarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718. Dalam surat itu disebutkan dikirim dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka dan mengantarkan hadiah untuk khalifah pada waktu itu. Kemungkinan khalifah Umar bin Abdul-Aziz juga memberikan hadiah untuk utusan Sriwijaya. Kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-mo pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

3.Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.
Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan sebutan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa(raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan kata lain, Balaputradewa adalah cucu Dharanindra.

Sementara itu prasasti Ligor B yang memuat istilah Sarwwarimadawimathana menurut pendapat Sejarawan George Cœdès dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini dianggap lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.
Alasan Muljana adalah terdapat perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia kemudian memadukannya dengan berita dalam prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.

Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.

Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.

Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.

4.Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Kerajaan Medang dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792 – 835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Smaratungga lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
5.Balaputradewa adalah cucu seorang Raja yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samartungga, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala. Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah Raja Sriwijaya.
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.

6.Sri Maharaja Cudamani Warmadewa merupakan salah seorang Maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa.
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanyaDurbodhāloka menyebutkan bahwa karyanya tersebut dituliskan pada masa pemerintahan Sri Cudamanivarmadeva penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa, sekitar akhir abad ke-10.
Pada tahun 1003, Sri Cudamani Warmadewa mendedikasikan sebuah candi untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Kemudian namanya juga didedikasikan untuk sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma di selatan India, sebagaimana yang tersebut pada prasasti Leiden. Hal ini juga menunjukan adanya hubungan diplomasi antara Sriwijaya dengan dinasti Chola waktu itu.

7.Sri Maharaja Mara-Wijayottungga Warmadewa atau Sri Mara-Wijayottunggawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya,yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-ma-la-pi.
Dalam prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya, Sri Mara-Wijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma. Kemudian berdasarkan kronik Tiongkok diketahui rajaSan-fo-ts'i yang bernama Se-li-ma-la-pi mengirimkan utusan ke Tiongkok tahun 1008, dan raja ini dirujuk kepada Sri Mara-Vijayottunggawarman.
Sumber Tiongkok juga menceritakan tentang peperangan besar antara kerajaannya dan Kerajaan Medang di Jawa Timur.Pada 1016, Sriwijaya mungkin turut membantu pemberontakan sebuah negara bawahan, sehingga menyebabkan kematian Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dan kehancuran Kerajaan Medang.
8.SriMaharajaSangrama-VijayottunggaWarmadewa atau Sangrama-Vijayottunggawarman merupakan seorang Maharaja Sriwijaya, dan dianggap raja Sriwijaya yang berdaulat terakhir atas wilayahnya
Nama Sangrama-Vijayottunggawarman diketahui berdasarkan prasasti Tanjore berangka tahun 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, selatan India. Prasasti itu dikeluarkan pada masa Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola. Pada masa ini Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).

Mengenal Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebut Śrīivijaya Jawa: (bahasa Jawa: Sriwijaya); Thai: ศรีวิชัย; Siwichai) adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa Barat dan Jawa Tengah .Dalam bahasa Sanskerta, Sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan Wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.Setelah keruntuhannya, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Prancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient. 
 

Yijing atau I Ching, atau kadang dieja I Tsing (義淨; pinyin Yì Jìng) (635 - 713) adalah seorang biksu Buddha Tionghoa yang berkelana lewat laut ke India melalui Jalur Sutra untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta. Dia kemudian membawanya pulang ke Tiongkok dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa. Dia tinggal di Kuil Xi Ming selama beberapa waktu di Chang'an, ibu kota Dinasti Tang.
Semasa perjalanannya, dia pernah mengunjungi kerajaan Sriwijaya (Palembang) di Sumatra, Indonesia pada tahun 671 dan tulisannya mengenai kerajaan tersebut adalah salah satu dari sedikit sumber mengenai Sriwijaya.
Dalam buku kenangannya, ia menceritakan bahwa sang peziarah Hui Ning memutuskan perjalanannya selama tiga tahun di pulau Jawa (664/5 – 667/8) untuk menterjemahkan sebuah sutra, kemungkinan besar dari mazhab Hinayana, mengenai Nirwana yang agung. Penterjemahannya dibantu seorang pakar Jawa yang bernama Jñânabhadra. Sedangkan I Ching sendiri menghargai pusat-pusat studi agama Buddha di Sumatrasecara tinggi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa ia tinggal selama enam bulan di Sriwijaya (Palembang) dan dua bulan di Malayu (Jambi) dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 dan setelah itu selama sepuluh tahun di Sriwijaya (685-695).
Selain itu ia juga meringkaskan bahwa agama Buddha dipeluk di negeri-negeri yang dikunjunginya dan sebagian besar, mazhab Hinayanalah yang dianut, kecuali di Malayu di mana ada pula beberapa penganut Mahayana.
Yijing menerjemahkan sekitar 60 sutra (teks agama Buddha) ke dalam bahasa Tionghoa.
 
George Cœdès
(lahir di Paris, 10 Agustus 1886 – meninggal di Paris, 2 Oktober 1969 pada umur 83 tahun) adalah arkeolog dan sejarawan Prancis abad ke-20 yang mengkhususkan diri di wilayah Asia Tenggara. Cœdès lahir dari keluarga yang diduga emigran Yahudi-Hongaria. Kenyataannya, keluarganya sudah tinggal di Strasbourg sebelum tahun 1740. Leluhurnya bekerja di kas kerajaan. Kakeknya, Louis Eugène Cœdès, adalah pelukis, murid dari Léon Coignet. Ayahnya, Hyppolite, adalah bankir. Cœdès menjadi direktur Perpustakaan Nasional Thailand pada tahun 1918, dan pada tahun 1929 menjadi direktur École française d'Extrême-Orient (EFEO) dan tetap di sana sampai tahun 1946. Lalu ia tinggal di Paris sampai saat kematiannya pada tahun 1969.
Ia menghasilkan dua karya tulis dalam bidangnya, The Indianized States of Southeast Asia (1968, 1975) dan The Making of South East Asia (1966), juga banyak artikel, yang di dalamnya ia mengembangkan konsep kerajaan terindianisasi. Namun, kesepakatan masa kini beranggapan bahwa tidak terjadi indianisasi yang penuh sebagaimana yang dipercaya Cœdès karena banyak praktik keagamaan dan budaya setempat yang masih tetap hidup di bawah "topeng" budaya India.
Georges Cœdès dihargai dalam dunia arkeologi atas penemuan kembali Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang,Indonesia, yang melebarkan pengaruh sampai seantero Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Jawa. Warga Indonesia, termasuk di Palembang, tak pernah mendengar nama Sriwijaya hingga Cœdès menerbitkan penemuan dan penafsirannya dalam publikasi berbahasa Belanda dan Indonesia.. Meskipun begitu, di antara kaum elit terdidik dan juga bangsawan, sejarah kerajaan yang datang silih berganti dan nasibnya amat dikenal.