1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah Maharaja Sriwijaya pertama yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Ia berkuasa sekitar perempat terakhir abad VII hingga awal abad VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi hingga 702 masehi.
2. Sri Maharaja Indra Warmadewa atau Sri Indrawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Shih-li-t-'o-pa-mo . Munculnya nama Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman berdasarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718. Dalam surat itu disebutkan dikirim dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka dan mengantarkan hadiah untuk khalifah pada waktu itu. Kemungkinan khalifah Umar bin Abdul-Aziz juga memberikan hadiah untuk utusan Sriwijaya. Kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-mo pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
2. Sri Maharaja Indra Warmadewa atau Sri Indrawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Shih-li-t-'o-pa-mo . Munculnya nama Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman berdasarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718. Dalam surat itu disebutkan dikirim dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka dan mengantarkan hadiah untuk khalifah pada waktu itu. Kemungkinan khalifah Umar bin Abdul-Aziz juga memberikan hadiah untuk utusan Sriwijaya. Kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-mo pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
3.Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.
Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan sebutan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa(raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan kata lain, Balaputradewa adalah cucu Dharanindra.
Sementara itu prasasti Ligor B yang memuat istilah Sarwwarimadawimathana menurut pendapat Sejarawan George Cœdès dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini dianggap lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.
Alasan Muljana adalah terdapat perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia kemudian memadukannya dengan berita dalam prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.
Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.
Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.
Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.
4.Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Kerajaan Medang dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792 – 835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Smaratungga lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
5.Balaputradewa adalah cucu seorang Raja yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samartungga, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala. Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah Raja Sriwijaya.
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.
6.Sri Maharaja Cudamani Warmadewa merupakan salah seorang Maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa.
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanyaDurbodhāloka menyebutkan bahwa karyanya tersebut dituliskan pada masa pemerintahan Sri Cudamanivarmadeva penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa, sekitar akhir abad ke-10.
Pada tahun 1003, Sri Cudamani Warmadewa mendedikasikan sebuah candi untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Kemudian namanya juga didedikasikan untuk sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma di selatan India, sebagaimana yang tersebut pada prasasti Leiden. Hal ini juga menunjukan adanya hubungan diplomasi antara Sriwijaya dengan dinasti Chola waktu itu.
7.Sri Maharaja Mara-Wijayottungga Warmadewa atau Sri Mara-Wijayottunggawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya,yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-ma-la-pi.
Dalam prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya, Sri Mara-Wijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma. Kemudian berdasarkan kronik Tiongkok diketahui rajaSan-fo-ts'i yang bernama Se-li-ma-la-pi mengirimkan utusan ke Tiongkok tahun 1008, dan raja ini dirujuk kepada Sri Mara-Vijayottunggawarman.
Sumber Tiongkok juga menceritakan tentang peperangan besar antara kerajaannya dan Kerajaan Medang di Jawa Timur.Pada 1016, Sriwijaya mungkin turut membantu pemberontakan sebuah negara bawahan, sehingga menyebabkan kematian Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dan kehancuran Kerajaan Medang.
8.SriMaharajaSangrama-VijayottunggaWarmadewa atau Sangrama-Vijayottunggawarman merupakan seorang Maharaja Sriwijaya, dan dianggap raja Sriwijaya yang berdaulat terakhir atas wilayahnya
Nama Sangrama-Vijayottunggawarman diketahui berdasarkan prasasti Tanjore berangka tahun 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, selatan India. Prasasti itu dikeluarkan pada masa Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola. Pada masa ini Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).
Ayah Balaputradewa bernama Samartungga, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala. Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah Raja Sriwijaya.
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.
6.Sri Maharaja Cudamani Warmadewa merupakan salah seorang Maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa.
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanyaDurbodhāloka menyebutkan bahwa karyanya tersebut dituliskan pada masa pemerintahan Sri Cudamanivarmadeva penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa, sekitar akhir abad ke-10.
Pada tahun 1003, Sri Cudamani Warmadewa mendedikasikan sebuah candi untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Kemudian namanya juga didedikasikan untuk sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma di selatan India, sebagaimana yang tersebut pada prasasti Leiden. Hal ini juga menunjukan adanya hubungan diplomasi antara Sriwijaya dengan dinasti Chola waktu itu.
7.Sri Maharaja Mara-Wijayottungga Warmadewa atau Sri Mara-Wijayottunggawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya,yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Se-li-ma-la-pi.
Dalam prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya, Sri Mara-Wijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma. Kemudian berdasarkan kronik Tiongkok diketahui rajaSan-fo-ts'i yang bernama Se-li-ma-la-pi mengirimkan utusan ke Tiongkok tahun 1008, dan raja ini dirujuk kepada Sri Mara-Vijayottunggawarman.
Sumber Tiongkok juga menceritakan tentang peperangan besar antara kerajaannya dan Kerajaan Medang di Jawa Timur.Pada 1016, Sriwijaya mungkin turut membantu pemberontakan sebuah negara bawahan, sehingga menyebabkan kematian Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dan kehancuran Kerajaan Medang.
8.SriMaharajaSangrama-VijayottunggaWarmadewa atau Sangrama-Vijayottunggawarman merupakan seorang Maharaja Sriwijaya, dan dianggap raja Sriwijaya yang berdaulat terakhir atas wilayahnya
Nama Sangrama-Vijayottunggawarman diketahui berdasarkan prasasti Tanjore berangka tahun 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, selatan India. Prasasti itu dikeluarkan pada masa Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola. Pada masa ini Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).