Simpul sejarah Jambi memang masih banyak yang terputus, termasuk soal keris Siginjei. Informasi terkait keris Siginjei umumnya tersebar lewat cerita rakyat yang pada abad 18 mulai dituliskan dalam cerita dan hikayat negeri Jambi. Pada karya tulis ilmiah, seperti; tulisan Den Hamer berjudul Legende van de kris Si Gendje, buku Dr. Lindawati berjudul Sejarah Jambi Tahun 1500-1945, dan buku Barbara Watson berjudul Live as Brothers:Southeast Sumatera in Seventeenth and Eighteenth Centuries, umumnya berkutat pada persistiwa Orang Kayo Hitam anak Datuk Paduka Berhala yang tidak mau tunduk terhadap Kerajaan Mataram. Atas ketidak patuhan itu, Raja Mataram ingin membunuh Orang Kayo HItam dengan keris sakti yang ditempa dengan menggunakan sembilan logam dari Sembilan wilayah bertuah. Hebatnya, Orang Kayo Hitam mengetahui rencana tersebut dan merebut keris sakti Siginjei serta menikahi salah satu putri raja Mataram. Bersama simbol kesaktian dan legitimasi politik ini, Orang Kayo Hitam memproklamirkan kedaulatan kerajaan Melayu Jambi.
Keris Siginjei tersohor memiliki kekuatan supranatural dan daya sakral, namun dibalik semua itu terdapat nilai-nilai luhur philosofis, yang antaralain; keberanian, jiwa kesatria, semangat kemajuan dan pembaharuan, berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan, penegakan hak asasi manusia, kepercayaan diri, dan pantang menyerah. Apabila nilai-nilai ini ditekankan kepada masyarakat Jamabi, tentu akan membawa dampak yang luar biasa untuk kemajuan Jambi dimasa mendatang. Namun sayangnya, keris Siginjai ini kurang pengkajian, baik secara historis dan arkeologis. Padahal data arsip cukup untuk membuktian keberadaan keris siginjei, demikian juga dengan data arkeologisnya, jelas objeknya masih bisa diteliti di Museum Nasional Jakarta.
Adalah hal yang penting untuk melakukan pembuktian ilmiah kebenaran beberapa peristiwa terkait keris Sigineji, sehingga mengubah kesan `mitos` atau kecendrungan yang akan mengarahkan keris siginjei menjadi `mitos`. Salah satunya adalah dengan pendekatan arkeologi. Metode arkeologi melalui cara-cara kerjanya mampu mengungkap persitiwa pembuatan keris Siginjei yang dalam cerita terbuat dari sembilan unsur logam, dan diperoleh dari Sembilan tempat. Metode metalographi dan analisis ,akan menjawab jenis logam apa saja pemebntuk keris Siginjei, juga berikut asal-muasal logamnya. Terkait kurun waktu pembuatan keris Siginjei yang dalam cerita dikatakan pada era Mataram, dapat dikaji dengan meneliti umur keris melalui teknik uji atau carbon dating. Persoalan kurun waktu pembuatan bisa diperjelas lagi dengan analisis gaya pada bagian-bagian keris; hulu atau pegangan, dan wilah atau bilah keris, warangka atau sarung keris, sehingga dapat dipastikan apakah keris gaya Mataram, Majapahit, Singosari, Bali, dan Melayu.
Keris Siginjei yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta, nyata adanya, dan dapat dilihat keindahan `luk` dan `pamornya`. Bukan generasi muda tak sayang dan tak cinta akan sejarahnya, tapi hanya persoalan pengnalan yang belum tertunaikan. Kalau lah dimata generasi muda keris Siginjei lebih cendrung kepada mitos dari pada sejarahnya, itu karena tak banyak kajian ilmiahnya. Betul apa kata pepatah lama, tak kenal maka tak sayang, dan kita memang belum mengenal keris Siginjei secara baik dan mendalam.
Penelitian mendalam yang intens tentu harus segera dilakukan. Anggaplah ini sebagai permulaan atas bangkitnya pengakajian sejarah peradaban Jambi yang panjang. Menghidupkan sejarah, berarti menghidupkan jiwa raga segenap anak bangsa. Bersama tegaknya tugu keris Siginjei, kembali pula tuah dan nilai-nilai luhurnya ke tengah-tengah masyarakat Jambi. Jadilah kebanggaan, dan inspirasi Jambi untuk kembali merebut masa kejayaannya. Jaya dalam kebesaran dan keluhuran peradaban budanya, serta kuat mengakar dengan kesadaran sejarahnya. Takkan hilang melayu di bumi, seperti Keris Siginjei.