Search This Blog

Friday, July 24, 2020

Keris Siginjei

Simpul sejarah Jambi memang masih banyak yang terputus, termasuk soal keris Siginjei. Informasi terkait keris Siginjei umumnya tersebar lewat cerita rakyat yang pada abad 18 mulai dituliskan dalam cerita dan hikayat negeri Jambi. Pada karya tulis ilmiah, seperti; tulisan Den Hamer berjudul Legende van de kris Si Gendje, buku Dr. Lindawati berjudul Sejarah Jambi Tahun 1500-1945, dan buku Barbara Watson berjudul Live as Brothers:Southeast Sumatera in Seventeenth and Eighteenth Centuries, umumnya berkutat pada persistiwa Orang Kayo Hitam anak Datuk Paduka Berhala yang tidak mau tunduk terhadap Kerajaan Mataram. Atas ketidak patuhan itu, Raja Mataram ingin membunuh Orang Kayo HItam dengan keris sakti yang ditempa dengan menggunakan sembilan logam dari Sembilan wilayah bertuah. Hebatnya, Orang Kayo Hitam mengetahui rencana tersebut dan merebut keris sakti Siginjei serta menikahi salah satu putri raja Mataram. Bersama simbol kesaktian dan legitimasi politik ini, Orang Kayo Hitam memproklamirkan kedaulatan kerajaan Melayu Jambi.
Keris Siginjei tersohor memiliki kekuatan supranatural dan daya sakral, namun dibalik semua itu terdapat nilai-nilai luhur philosofis, yang antaralain; keberanian, jiwa kesatria, semangat kemajuan dan pembaharuan, berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan, penegakan hak asasi manusia, kepercayaan diri, dan pantang menyerah. Apabila nilai-nilai ini ditekankan kepada masyarakat Jamabi, tentu akan membawa dampak yang luar biasa untuk kemajuan Jambi dimasa mendatang. Namun sayangnya, keris Siginjai ini kurang pengkajian, baik secara historis dan arkeologis. Padahal data arsip cukup untuk membuktian keberadaan keris siginjei, demikian juga dengan data arkeologisnya, jelas objeknya masih bisa diteliti di Museum Nasional Jakarta.

Adalah hal yang penting untuk melakukan pembuktian ilmiah kebenaran beberapa peristiwa terkait keris Sigineji, sehingga mengubah kesan `mitos` atau kecendrungan yang akan mengarahkan keris siginjei menjadi `mitos`. Salah satunya adalah dengan pendekatan arkeologi. Metode arkeologi melalui cara-cara kerjanya mampu mengungkap persitiwa pembuatan keris Siginjei yang dalam cerita terbuat dari sembilan unsur logam, dan diperoleh dari Sembilan tempat. Metode metalographi dan analisis ,akan menjawab jenis logam apa saja pemebntuk keris Siginjei, juga berikut asal-muasal logamnya. Terkait kurun waktu pembuatan keris Siginjei yang dalam cerita dikatakan pada era Mataram, dapat dikaji dengan meneliti umur keris melalui teknik uji atau carbon dating. Persoalan kurun waktu pembuatan bisa diperjelas lagi dengan analisis gaya pada bagian-bagian keris; hulu atau pegangan, dan wilah atau bilah keris, warangka atau sarung keris, sehingga dapat dipastikan apakah keris gaya Mataram, Majapahit, Singosari, Bali, dan Melayu.
Keris Siginjei yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta, nyata adanya, dan dapat dilihat keindahan `luk` dan `pamornya`. Bukan generasi muda tak sayang dan tak cinta akan sejarahnya, tapi hanya persoalan pengnalan yang belum tertunaikan. Kalau lah dimata generasi muda keris Siginjei lebih cendrung kepada mitos dari pada sejarahnya, itu karena tak banyak kajian ilmiahnya. Betul apa kata pepatah lama, tak kenal maka tak sayang, dan kita memang belum mengenal keris Siginjei secara baik dan mendalam.
Penelitian mendalam yang intens tentu harus segera dilakukan. Anggaplah ini sebagai permulaan atas bangkitnya pengakajian sejarah peradaban Jambi yang panjang. Menghidupkan sejarah, berarti menghidupkan jiwa raga segenap anak bangsa. Bersama tegaknya tugu keris Siginjei, kembali pula tuah dan nilai-nilai luhurnya ke tengah-tengah masyarakat Jambi. Jadilah kebanggaan, dan inspirasi Jambi untuk kembali merebut masa kejayaannya. Jaya dalam kebesaran dan keluhuran peradaban budanya, serta kuat mengakar dengan kesadaran sejarahnya. Takkan hilang melayu di bumi, seperti Keris Siginjei.

Thursday, July 23, 2020

Sriwijaya

Sejarah mengenai Kerajaan Sriwijaya memang menjadi legenda nusantara Indonesia. Kerajaan ini merupakan kerajaan maritim terbesar karena berhasil menguasai berbagai macam daerah yaitu pulau Kalimantan, pulau Jawa, dan pulau Sumatera. Tidak hanya daerah di kawasan Indonesia saja namun kekuasaan Kerajaan ini berhasil mencapai wilayah Asia yang lain yaitu Kamboja, Semenanjung Malaya, dan juga Thailand bagian selatan. Karena keberhasilannya tersebut Kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa dalam perdagangan di Asia Tenggara.

Balaputradewa satu-satunya raja Sriwijaya yang diingat banyak orang. Dia terkenal sampai India karena membangun asrama bagi pelajar Sriwijaya di Nalanda. Padahal, Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad 7. Namanya memudar pada abad 12.
Sementara Balaputradewa menjadi raja Sriwijaya pada abad 9. Lantas siapa saja yang menjadi raja Sriwijaya? Pertanyaan ini cukup merepotkan.
“Dalam kajian Sriwijaya yang menyulitkan kita adalah menyusun genealogi raja-rajanya, karena prasasti tak menyebut nama raja dengan terang,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, kepada Historia. 
Tak jelas juga siapa yang memulai imperium besar ini. Informasi awal muncul dalam Prasasti Kedukan Bukit bernama Dapunta Hyang. Namun, sesungguhnya yang disebut prasasti dari tahun 682 itu hanyalah gelar. 
Untungnya, Prasasti Talang Tuo memperjelasnya. Ditemukan di Palembang, prasasti dari tahun 684 ini menyebut tokoh Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Kedua tokoh itu dianggap orang yang sama karena prasasti itu dikeluarkan dalam jarak waktu berdekatan. 
“Kita baru tahu nama lengkapnya setelah ditemukan prasasti tentang taman, Prasasti Talang Tuo,” ujar Bambang.Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya berdasarkan isi Prasasti Talang Tuwo, Dapunta Hyang Sri Jayanaga dipuja dengan doa yang muluk setelah dia memerintahkan pembuatan taman Sriksetra. Taman yang ditanami beraneka buah-buahan itu diciptakan demi kehidupan semua makhluk. 
“Jadi logisnya Dapunta Hyang adalah gelar raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanaga,” catat Slamet Muljana. 
Siapa yang melanjutkan pemerintahannya? 
Menurut Bambang, informasinya terputus sampai muncul nama Balaputradewa. Ada petunjuk kecil dari Prasasti Ligor A dan kronik Tiongkok. Prasasti itu menyebut raja Sriwijaya menyerupai Indra yang membangun kuil di Ligor (kini, Nakhon Si Thammarat di Thailand selatan) pada 775. 
Hsin-t’ang-hsu, catatan sejarah yang disusun berdasarkan berita Ch’iu T’ang Shu atau sejarah lama, ketika Dinasti Sung berkuasa pada abad 11. Tercatat Kerajaan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673 dan 713-741. 
Pada 724, seorang utusan bernama Kiu-mo-lo (Kumara) datang ke Tiongkok. Kaisar memberi gelar jenderal padanya. Dia juga memberi gelar pada raja Sriwijaya bernama Che-li-to-le-pa-mo (Sri Indrawarman). 
“Jika masa pemerintahan itu kita hubungkan dengan Prasasti Ligor A, yaitu 775, maka selisih 51 tahun, mungkin Sri Indrawarman masih memerintah, mungkin juga sudah diganti putranya,” tulis Slamet. Bisa jadi raja yang dilukiskan serupa Dewa Indra oleh Prasasti Ligor A adalah Sri Indrawarman atau anaknya yang entah siapa namanya. 
Tak banyak lagi informasi mengenai pemegang takhta berikutnya. Permasalahan genealogi kian ruwet ketika sampai ke Balaputradewa dalam suksesi Sriwijaya. Dalam Prasasti Nalanda dari tahun 860, Balaputradewa mengaku keturunan Sailendra, sebuah wangsa di Jawa. Ini menjadi pertanyaan bagaimana seorang keturunan Jawa bisa berkuasa di Sumatra. 
Namun, setidaknya dia menjadi raja Sriwijaya lebih jelas. Prasasti itu menyebut namanya sebagai Maharaja di Suwarnadwipa, sebutan lama bagi Sumatra yang identik dengan Sriwijaya. 
Setelah Balaputradewa, ada dua nama yang disebut dalam kronik Tiongkok sebagai raja di San-Bo-Zhai (Sumatra). Namun, keduanya tak didukung data prasasti. Dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279), disebutkan pada 960, Si-ri-hu-da-xia-li-tan mengirimkan utusan ke Tiongkok. Rajanya bernama Si-ri-wu-ya. Dua puluh tahun kemudian, rajanya sudah berganti. Ha-chi atau Haji (Aji) tertulis sebagai raja yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 980. 
Informasi agak terang muncul soal dua raja selanjutnya. Selain dari catatan Sejarah Dinasti Song, kedua raja ini juga disebut dalam prasasti berbahasa Tamil, Prasasti Leiden dari tahun 1005. 
Kronik Tiongkok menyebut pada 1003, Raja Si-ri-zhu-la-wu-ni-fo-ma-diao-hua mengirimkan utusan ke Tiongkok. Utusan ini menyampaikan kepada kaisar kalau mereka mendirikan vihara Buddha bagi sang kaisar. Untuk itu mereka memohon agar penguasa Tiongkok bersedia memberikan nama dan genta. Pada 1008, penggantinya, Se-ri-ma-la-pi juga mengirim utusan ke Tiongkok. 

Kedua raja itu merupakan ayah dan anak. Dalam Prasasti Leiden disebutkan Sri Marawijayotunggawarman, putra Raja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Sementara sang ayah menghadiahkan sebuah biara bernama Cudamaniwarmanwihara. Hadiah ini, diberikan pada tahun pertama pemerintahan Raja Cola, Rajaraja I (1005/1006). 
Berikutnya, pada 1017 berita Tiongkok kembali menyebut Raja Ha-chi-su-wu-cha-pu-mi mengirimkan utusan yang membawa surat berhuruf emas dan beberapa hadiah kepada kaisar. Pada 1028, raja yang berbeda, Raja Si-li-die-hua atau mungkin dibaca Sri Deva, mengutus bawahannya ke Tiongkok. Dua tahun sebelum utusan ini datang, Sriwijaya diserang Kerajaan Cola dari India Selatan. Dalam Prasasti Tanjore (1030) disebutkan Raja Sangramawijayattungawarman ditawan. 
Dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, George Coedes memperkirakan raja yang ditawan itu segera diganti. Yang tercatat dalam kronik Tiongkok itu bisa jadi adalah raja yang menggantikan. 
Bambang menjelaskan, Sriwijaya masih tercatat mengirimkan bantuan ke Tiongkok dalam pembangunan kuil Tao di Kanton. Dalam Prasasti Kanton (1079) tercatat perbaikan kuil T’ien Ching dilakukan atas biaya raja San-fo-ts’i bernama Ti-hu-ka-lo. 

Nama itu mungkin yang terakhir dari berita-berita tentang penguasa Sriwijaya. Informasi penguasa di Suwarnadwipa baru muncul kembali saat di Jawa sudah berkuasa Krtanagara, raja Singhasari. Namun, agaknya kekuasaan di Sumatra sudah beralih dari Sriwijaya ke Kerajaan Melayu. Pusat kekuasaannya berubah ke Dharmmasraya di barat Sumatra. 
Lewat Prasasti Padang Roco (1286) yang ada di lapik arca Amoghapasa diketahui kalau Krtanagara menghadiahi rakyat Bhumi Malayu arca itu. Raja di Bhumi Malayu itu bernama Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. 

Gelar Srimat sebelumnya juga pernah muncul. Ia tercantum dalam Prasasti Grahi (1183) untuk raja bernama Srimat Trailokyaraja Mauplibhusanawarmadewa. Adapun prasasti ini berada di Chaiya, selatan Thailand yang sebelumnya pernah menjadi negeri bawahan Sriwijaya. 
Menurut Slamet Muljana, gelar Srimat dan nama Mauli hanya dikenal oleh raja-raja Melayu. Tak pernah sebelumnya digunakan oleh penguasa trah Sailendra, baik di Sumatra maupun di Jawa. 
“Dengan kata lain Kerajaan Sriwijaya pada 1183 sudah runtuh digantikan Kerajaan Malayu, dan wilayah Semenanjung tak lagi diperintah Sriwijaya, melainkan Kerajaan Melayu,” jelasnya.