Search This Blog

Saturday, June 12, 2021

Sejarah Si Ginjei Nama Keris

Si Ginjei merupakan nama sebilah keris pusaka Kesultanan Jambi yang disandang turun-temurun oleh para Sultan Jambi. Sebagai pusaka, Kesultanan Jambi ini memiliki nilai material dan estetika yang tinggi, silsilah, keagamaan, dan persekutuan dengan mahluk.

Oleh karena itu, benda ini dianggap sakral dan keramat yang diselimuti mitos & legenda penciptaannya, tokoh yang memerankannya, kekuatan magisnya dan sekaligus sebagai atribut yang melegitimasi seseorang sebagai Sultan Jambi.

Sebagai benda Bersejarah, Keris si Ginjei memiliki bilah yang dibuat dari besi berhiaskan emas daun bermotif sulur daun dengan panjang 39 cm dan ber-luk 5. Hulu keris yang dibuat dari kayu berukir berbentuk Binatang duduk dengan tangan membelit badan.

Selut dihiasi permata berjumlah 16 buah berukuran besar dan kecil yang masing-masing berjumlah 8 buah. Kedelapan permata besar . Keseluruhan permata tersebut diperkuat emas berbentuk persegi dan oval. Sarung keris (warangka) dibuat dari kayu yang dilapisi emas yang di bagian depannya diperkaya hiasan motif sulur daun, sedangkan bagian belakangnya polos.
Legenda tertulis yang menyelimuti keris si Ginjei ini dapat dijumpai dalam beberapa naskah, antara lain: 1). Hal Perkara Kerajaan Jambi (Naskah A); 2) Legenden van Djambi(Naskah B); dan 3) Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi (Naskah C).

Ketiga naskah tersebut dalam bentuk penerbitan, seperti buku atau bagian dari isi majalah. Selain pada naskah, legenda tentang keris si Ginjei juga beredar lisan di masyarakat dalam berbagai versi yang satu di antaranya menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib.

Isi selanjutnya lebih banyak menceritakan Orang Kayo Hitam berpetualang di Mataram dan mendapatkan keris si Ginjei yang pembuatannya sangat pelik guna membunuh Orang Kayo Hitam. Orang Kayo Hitam akhirnya diangkat menantu oleh Raja Mataram karena tidak berhasil dibunuh oleh Raja Mataram. Naskah diakhiri hilangnya keris Si Ginjei di Teluk Air Dingin, tapi berkat bantuan Pak Sulung keris dapat ditemukan kembali.  Toean Telanai sebagai raja pertama yang berkuasa di Jambi. Dia sangat mendambakan seorang putra, tetapi dambaannya ini sangat sulit. 

Akhirnya lahirlah sang putra, dan kelahirannya diramalkan bahwa si anak akan membunuh bapaknya. Oleh Toean Telanai anak ini dibuang ke laut dalam peti dengan secarik surat yang menyatakan bahwa bayi tersebut adalah putra Raja Jambi. Bayi itu ditemukan dan dipungut oleh Raja Siam dan dirawat hingga dewasa.

Setelah dewasa dia mencari orang tuanya ke Jambi, dan akhirnya ramalan menjadi kenyataan, Toean Telanai dibunuh oleh anaknya. Kemudian negeri Jambi ditinggalkan rakyatnya sehingga menjadi hutan belantara.

Pada bab 2 kisah dimulai dengan kedatangan Datuk Paduka Berhalo dari Turki dan menetap di Pulau Berhala. Setelah berputra Datuk Paduka Ningsum, dia meninggal dunia (Versi lainnya menceritakan bahwa Orang Kayo Hitam bukan cucu Datuk Paduka Berhalo, tetapi anak Datuk Paduka Berhalo, seperti yang diuraikan pada Naskah A dan C).

Cucu Datuk Paduka Berhalo adalah Orang Kayo Hitam yang mengamuk di Mataram. Selanjutnya diceritakan tentang pembagian wilayah, pimpinannya, dan pangkatnya di Kerajaan Jambi. Kisah ini ditutup dengan berkuasanya Sultan Ratu Abdul Rahman Nazaruddin.
 
Masih dalam sila yang sama, memuat salinan piagam utan tanah Sengketi Besar pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas; kisah Raja Empat Puluh di Jambi asalnya dari Keraton sebab mendurhaka kepada Sultan; Jambi berajakan Dewa Sekarabah namanya keturunan dari megat-megatan.
Selanjutnya mengenai kisah Jambi berajakan Si Pahit Lidah, dan tatkala mati Raja Si Pahit Lidah maka ini Jambi tidak beraja lagi; orang kerajaan yaitu priyayi Tujuh Koto Sunan Pulau Johor; kisah Orang Kayo Hitam kepada tarikh 737 tahun; utan tanah Simpang namanya dan yaitu tanah bahagian namanya; dan peri menyatakan Sultan Ahmad Zainuddin bin Sultan Sri Maharaja Batu.
Untuk memperkirakan kapan cerita ini diedarkan, tentunya harus membandingkan dengan peristiwa sejarah yang tercatat. Peristiwa dan bukti-bukti sejarah Jambi diperkirakan cerita tersebut dikembangkan sekitar tahun 1663 dengan dasar bahwa dari ketiga naskah tersebut menyatakan bahwa Jambi sebelum Orang Kayo Hitam berkuasa secara teratur mengirim upeti ke Mataram, Naskah C menyebut upeti tersebut sebagai pekasam pacat dan pekasam keluang ke Mataram.

Dalam peristiwa sejarah, Jambi memutuskan hubungan dengan Mataram, baik sebagai vasal maupun ideologi politik sekitar tahun 1663. Peristiwa tersebut dipaparkan oleh de Graaf (1987: 75) sebagai berikut: “Pada tanggal 17 Mei 1663 datanglah dari Jambi tanpa dipanggil Kepala Kompeni Evert Michielsen ke Batavia atas permintaan dan sebagai utusan Pangeran Ratu Jambi dengan membawa berita penting. Antara lain dia harus mengemukakan kepada Pemerintah Batavia tentang pemisahan Sri Baginda (Jambi) dari Istana Mataram (Daghregister).
Selain itu, muncul pula dua utusan Jambi, yaitu Kiai Demang Nayariadiwangsa, putra Temenggung Suryanata, penasehat utama Temenggung, dan seorang lagi Kiai Ngebei. Mereka berdua dengan hikmat bukan saja menyampaikan berita tentang raja muda yang naik tahta, tetapi juga menyatakan hasrat untuk memisahkan diri dari Mataram dan melakukan hubungan yang lebih dekat dengan Kompeni. Jadi raja yang muda itu telah memegang tampuk pemerintahan, tetapi belum berpengalaman. Ia sudah bertekad bulat untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Mataram atau kerajaannya, dan akan melakukan politik mendekati Kompeni”. Secara tegas Pangeran Ratu menyatakan: “ingin berkuasa sebagai raja, bukan sebagai vazal, kalau tidak … lebih baik turun saja”. Pernyataan ini dicatat dalam Daghregister, 5 April 1663.

Selanjutnya, Pangeran Ratu berkata dengan marah: “Para leluhur kami adalah raja-raja yang berdaulat, mengapa kami tidak?” (de Graaf, 1987: 74). Mengenai prosesi pengangkatan raja baru Haga (1929: 234) memaparkan sebagai berikut: “Pada hari yang telah ditentukan, lurah dari Jebus (satu di antara Bangsa XII) diangkat sebagai Raja Jambi – ‘Raja Sehari’ – yang berlaku dari pagi hari hingga pukul 5 sore.

Pada menit-menit terakhir sultan baru diperlihatkan pada orang-orang yang berkumpul. Kepala Suku Kedipan saat itu menembakan meriam Si Jimat, sedangkan Kepala Suku Perban membunyikan gong Sitimang Jambi sambil berseru: “Dengarkan semua rakyat Kerajaan Jambi yang terdiri dari VII Koto, IX Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Maro Sebo, Pucuk Jambi, dan IX Lurah, inilah raja kita”. Penduduk yang berkumpul menyambutnya dengan meriah.

Kemudian keris pusaka kerajaan Si Ginjei disisipkan di ikat pinggang raja baru oleh ‘Raja Sehari’ sambil mengucapkan: “Adik, engkau telah diangkat menjadi raja. Seluruh tanah, air, dan rakyat yang hidup itu dipercayakan dalam pemeliharaan dan lindunganmu”. Lalu “Raja Sehari” menyatakan hormatnya pada Sultan, diikuti pula oleh para kepala anggota berbagai suku, para menteri, dan mereka yang menghadiri pelantikan”. Legenda lisan tentang keris si Ginjei menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib seiring tewasnya Sultan Thaha Syaifuddin.

Versi lainnya menceritakan bahwa keris tersebut berada dalam perut ikan tapa besar yang bersembunyi di Sungai Batanghari di muka rumah dinas Gubernur Jambi. Sebelum diserahkan oleh Pangeran Prabu Negara ke Pemerintah Hindia Belanda, keris Si Ginjei dikuasai Sultan Thaha Syaifuddin.

Sultan Thaha Saifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang diakui masyarakat Jambi. Sultan Thaha Saifuddin gugur pada tanggal 26 April 1904 di Betung Berdarah, Kabupaten Tebo saat disergap tentara kolonial Belanda.

Sejak bulan November 1904 Keris Si Ginjei menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 10921 (E 263). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) melalui Gubermenten Besluit No. 7, 14 Agustus 1904.

Budi Prihatna merupakan museolog dan bekerja di Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Artikel ini merupakan bagian dari tesisnya mengenai Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Naskah A ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Jambi yang diterbitkan dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG) XLVIII tahun 1906. Naskah B yang ditulis aksara Melayu diterbitkan dalam Tijdschrift Nederlandsch Indie (TNI) 8 tahun 1846, sedangkan Naskah C ditulis dalam aksara pegon yang dialihbahasakan dan diterbitkan tahun 2005 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi. Naskah A dihimpun oleh kontrolir R.C van den Bor pada tahun 1905 dan diterbitkan tahun 1906 dalam TBG XLVIII. Naskah B dihimpun oleh Residen Palembang A.H.W. de Kock tahun 1843 dan dipublikasikan tahun 1846 dalamTNI 8. Adapun naskah C dihimpun oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Perisai Rajo Sari.
Bila menilik kata pendahuluan buku tersebut, Naskah C dihimpun sekitar tahun 1905, yaitu setelah Jambi menjadi daerah administrasi Hindia Belanda.
Naskah A terdiri dari 29 halaman yang diawali dengan: “asalnya negeri Jambi tidak beraja, rajanya di Mataram, mengantarkan hasil 2½ tahun ke Mataram”.

Saturday, June 5, 2021

Keris Kalawijen

Keris Kalawijen adalah keris diatas Luk 13 dimulai dari Luk 15 , termasuk Jenis keris khusus yang sangat jarang dimiliki oleh Seseorang.
Keris ber-luk Kalawijen terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keduniawiannya sudah sempurna, sudah cukup, sudah tidak lagi mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni hidup kerohanian. Keris Kalawijen dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Seseorang yang sudah matang dalam usia dan psikologis dan yang sudah mandito.





Nama-nama Keris Luk 15

Keris Kalawijen adalah keris diatas Luk 13 dimulai dari Luk 15 , termasuk Jenis keris khusus yang sangat jarang dimiliki oleh Seseorang.
Keris ber-luk Kalawijen terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keduniawiannya sudah sempurna, sudah cukup, sudah tidak lagi mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni hidup kerohanian. Keris Kalawijen dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Seseorang yang sudah matang dalam usia dan psikologis dan yang sudah mandito.



Nama-nama Keris Luk 13

Keris ber-luk 13 dimaksudkan dengan Kesaktian Wibawa Kekuasaannya,keris ini menjadi penangkal kesialan atau tolak bala. Keris ber-luk 13 biasanya dibuat untuk tujuan Kesaktian dan Wibawa kekuasaan.
Satu diantaranya Keris ber-luk 13 yang terkenal adalah keris Nagasasra yang bersifat penguasa, pengayom dan pelindung. Aura wibawa keris ini sangat kuat. Aura wibawanya menunjang kewibawaan pemiliknya supaya dicintai banyak orang dan wataknya sebagai pengayom dan pelindung akan selalu melindungi orang-orang yang berlindung kepadanya. 
Keris terakhir yg masih memikirkan hal kedunian yaitu Keris Ber Luk 13.




Nama-nama Keris Luk 11

Keris ber Luk 11 , Bertuah sebagai mendongkrak kemapanan, melambangkan simbul Kekayan yg berlebih Kemapanan Pada pemiliknya dari jaman dulu hingga saat ini filosopi tersebut tidak berubah, Keris ini sangat cocok utk mereka yang masih ingin mengejar Kedunianan/kekayaan. seperti keris ( Keris Luk 3 Jinangkung/Jangkung keinginan ) hanya tingkatannya berbeda. sebelum memiliki keris ini sebaiknya memiliki keris Luk 3 terlebih dahulu.




Nama-nama Keris Luk 9

Keris ber Luk 9 ditujukan untuk orang-orang yang sudah tidak lagi mengejar keduniawian tingkatannya Masih dibawah Kalawijen, sudah lebih menekuni kerohanian. Keris-keris ber-luk 9 dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian dan kesepuhan. Dikhususkan untuk dimiliki oleh para Pengajar , pandita atau panembahan dan para sesepuh masyarakat.
Selain memberikan tuah keselamatan, kerohanian, keilmuan dan perbawa kesepuhan, jenis keris ini biasanya mengeluarkan hawa aura yang sejuk.




Nama-nama Keris Luk 7

Keris ber-luk 7 terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keilmuannya sudah sempurna, sudah cukup, Tetapi Masih mengejar keduniawian untuk kemudian lebih menekuni mendalami Keilmuan . Keris ber-luk 7 dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh Guru atau keluarga raja yang sudah matang dalam keilmuan dan psikologis selain itu digunakan untuk para tokoh kesepuhan di masyarakat.